Begini Penyelesaian Masalah Suku Makassar Gowa Dimasa Lampau

oleh -3 views

Mitrasulawesi.id– Sigajang Laleng Lipa atau Sitobo Lalang Lipa, adalah cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi antara dua orang.

Tentu saja, cara kekeluargaan lebih diutaman dibandingkan cara-cara lain.
Namun, bagi pemuda Makassar, jika suatu masalah tidak bisa diselesaikan dengan berbagai cara, maka mereka memutuskan untuk melakukan ritual Sitobo Lalang Lipa.

Lewat ritual yang ada di Sulawesi selatan, pemuda yang bermasalah akan saling tikam menggunakan badik. Kedua pemuda yang bermasalah tersebut juga akan ‘dikurung’ dalam satu sarung yang sama.

Badik sendiri adalah senjata tradisional yang merupakan warisan budaya Makassar.
Namun, menurut beberapa sumber ritual ini konon banyak terjadi dimasa lalu.
Khususnya saat sebuah keluarga merasa harga dirinya terinjak, namun, kedua keluarga merasa benar, maka diselesaikan dengan ritual ini.

Baca Juga:  Jelang Pilkada 2020, Bawaslu Gowa Umumkan Pengambilan Formulir

Awal kemunculannya, adalah pengaruh masyarakat Makassar yang menjunjung tinggi harga diri, di mana mereka merasa malu ketika harga diri mereka terinjak-injak.
Bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kehormatan mereka, akhirnya ritual ini tercipta.

Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Makassar.

Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisa budaya.
Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari menggunakan obor.

Baca Juga:  Bhabinkamtibmas Bonto Lebang Bantaeng Kerja Bakti Bersama Warga

Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan Gajang Laleng Dipa.
Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, di mana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.

Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri merek ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antar manusia.
Meski terkesan brutal dan mengerikan, ritual ini merupakan tradisi dan ciri khas masyarakat Bugis.

Baca Juga:  Melahirkan Generasi Bangsa Intelektual Dan Bermoral, Ham-Bastem Gelar Pengkaderan

Ketika perselisihan tak dapat dihindari karena sebuah perselisihan dan menjunjung harga diri yang harus ditegakkan.
Di saat itulah nyawa tak ada artinya, dan konflik berdarah harus dilakukan dalam ritual bernama Gajang Laleng Dipa.
Hal ini tak lain dan tak bukan adalah untuk menjunjung kemulian dan harga diri manusia.
(Afif KM)


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.