Opini: Biografi Tokoh Pendiri DDI

oleh -
oleh
Penulis, Mahasiswa STAI DDI Sidrap, Sri Hartati

A.G. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle

Ambo dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan di kabupaten Wajo pada sekitar tahun 1900. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya adalah Andi Candara Dewi. Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki.

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Suatu ketika, AG. H. Muhammad As’ad menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata jawaban Ambo Dalle dianggap paling tepat dan sahih.

Maka, sejak saat itu, beliau diangkat sebagai asisten. Sehingga pada tahun 1935, beliau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan untuk memperdalam ilmu agama pada para syeikh di Mekkah.

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah.

Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Maka dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. As’ad dan ulama lainnya.

Ambo Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah2

H. Muhammad As’ad

Syeikh Muhammad As’ad biasa juga disebut Kiai Haji Muhammad As’ad, tetapi di Sengkang-Wajo orang menyapanya Anre Gurutta Puang Haji Sade’.1 Lahir di Mekah, Arab Saudi pada tahun 1907 Masehi dan meninggal dunia pada hari Senin, 12 Rabiul Akhir 1372 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Desember 1952 Masehi di Kota Sengkang, Ibukota Kabupaten Wajo provinsi Sulawesi Selatan.

Ayahnya adalah seorang ulama bernama Kiai Haji Abdul Rasyid, sedang ibunya bernama Sitti Shalehah, juga putri seorang ulama bernama Guru Terru.2

Dengan demikian, Syeikh Muhammad As’ad dari segi geneologisnya tampaknya ia memang berdarah ulama. Usianya 21 tahun saat menginjakkan kaki di tanah leluhurnya. Pada saat itu, di kediamannya di sebelah barat Masjid Jami (cikal bakal Ponpes As’adiyah), Muhammad As’ad mengadakan halaqah rutin. Dua tahun berselang, yakni Mei 1930 halaqah dipindah di Masjid Jami’ dan KH Muhammad As’ad resmi membuat sebuah lembaga pendidikan bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI).

Baca Juga:  Dengan Modal 100 M, Balon ini Siap Bertarung di Pilwalkot

Murid-murid awalnya, yakni Muhammad Daud Ismail, Muhammad Yunus Martan, serta Abdurrahman Ambo Dalle, adalah ulama-ulama kesohor di Sulawesi Selatan. Dua nama awal kelak melanjutkan estafet kepemimpinan di pesantren, sementara nama terakhir adalah pendiri Ponpes DDI Magkoso di Kabupaten Barru.

KH Muhammad As’ad, atau yang lebih dikenal Gurutta Puang Haji Sade, wafat pada Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H atau 29 Desember 1952.

AG. H Abduh Pabbaja

Kiai Pabbaja lahir di Allakuang, Sidenreng Rappang atau lebih kenal kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, pada 20 Muharram 1336 H atau 26 Oktober 1918. Beliau lahir dari keluarga terpandang dan taat beragama. Ayahnya bernama Pabbaja bin Ambo Padde, seorang kepala wilayah di desa kelahirannya. Ibunya bernama Hj Latifah binti Kalando, putri seorang imam atau penghulu syarak di desa itu. Kiai Pabbaja adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara.

AGH Abduh Pabbaja mengenal pendidikan dasar di SR Rawa sampai kelas dua, kemudian melanjutkan di Madrasatul Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang yang dibimbing langsung AGH. Muh. As’ad. Beliau merupakan angkatan kedua bersama AGH. Muh Yunus Martan Asal Belawa, Wajo.

Konon, beliau pernah pulang kampung di Sidrap sehingga ketinggalan mempelajari ilmu Fanaidh (membuat syair Arab), lalu saat kembali ke Sengkang beliau fokus mendalami ilmu tersebut. Karena ilmu Fanaidh yang sebagian santri dianggap berat, justru beliau berujar bahwa ilmu itu sebagai “aggurung makkunrai” (pelajaran perempuan) artinya mudah sekali mempelajarinya.

Pengabdian AGH Abduh Pabbaja dimulai dengan membuka cabang MAI di Allekkuang untuk tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Kemudian tahun 1949, beliau diangkat sebagai kali sidenreng.

Gurutta Pabbajah, meninggal dunia pada usia 94 tahun menurut perhitungan Hijriyah, atau 90 tahun pada penanggalan Masehi. Beliau lahir di Allakuang, pada 20 Muharram 1336 H, atau 26 Oktober 1918. Gurutta AGH. Abduh Pabbaja wafat tanggal 20 Agustus 2009.

H. Daud Ismail

Tanggal 30 Desember 1908 di Cenrana, Soppeng lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dari pasangan Haji Ismail bin Baco Poso dengan isterinya Hajah Pompola binti Latalibe. Pasangan suami isteri tersebut memberi nama bayinya Daud, sehingga kalau nama tersebut dilengkapi dengan nama ayahnya, maka bayi tersebut bernama lengkap Daud Ismail. Kedua orangtuanya merupakan orang yang terpandang dan tokoh masyarakat di daerah ini. Ayahnya dikenal sebagai Khatib dan Parewa Syara, di distrik Soppeng dengan panggilan akrabnya Katte’ Maila (Ismail).

Baca Juga:  Ramadan, Bapenda Makassar Hadirkan Ustaz di Pengajian Para Pegawai

Selain itu Haji Ismail juga dikenal sebagai guru mengaji Alquran di desa Cenrana disela-sela pekerjaannya sebagai seorang petani. Oleh karena itu, maka tidak aneh bila kedua orangtuanya sangat mendambakan anak lelaki satusatunya itu kelak menjadi seorang panrita (ulama). Gurutta Haji Daud Ismail adalah anak bungsu dan satu-satunya laki-laki dari sebelas bersaudara.

AGH.Daud Ismail dalam mengembangkan syiar Islam dengan berbagai macam cara antara lain selain dakwah bil lisan yaitu dengan memberikan ceramah-ceramah agama pada masyarakat, baik melalui jalur pendidikan formal maupun semi formal yaitu dengan mendirikan pondok pesantren. Selain itu, beliau juga menempuh jalur struktural birokratis pemerintahan baik sewaktu beliau masih berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil maupun sewaktu beliau menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Kabupaten Soppeng.

Penyebaran dan pengembangan syiar Islam juga beliau salurkan melalui tulisan-tulisan yang beliau hasilkan. Anregurutta Daud Ismail menghadap ke hadirat Allah SWT dalam usia 99 tahun pada Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar.

Anregurutta Daud Ismail masih menjabat sebagai Kadhi di Kabupaten Soppeng. Selain itu amanah yang masih disandangnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005.

Prof. Dr. KH. Ali Yafie

Prof. Dr. KH. Ali Yafie dilahirkan di Donggala, Sulawesi Tengah pada 1 September 1926 atau 23 Safar 1345. Pada bulan ketika Ali Yafie dilahirkan itu, muktamar NU pertama diselenggarakan. Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara (empat saudaranya yang sudah meninggal: As’ad, Muzainah, Manarussana, dan Amira). Ayahnya bernama Syekh Muhammad al-Yafie dan ibunya bernama Imacayya, putri raja dari salah satu kerajaan di Tanete di pesisir barat Sulawesi Selatan.

Seturut penuturan Helmi Aly, putra Ali Yafie, Imacayya meninggal saat Ali Yafie berumur 10 tahun. Ayahnya menikah lagi dengan Tanawali. Pasangan ini diberi empat keturunan: Muhsanah, Husain, Khadijah, dan yang masih hidup bungsunya, Idris. Muhammad Al-Yafie meninggal pada awal 1950-an.

Sejak usia 19 tahun, Prof. Dr. KH. Ali Yafie melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Aisyah, masih berusia 16 tahun. Sang ayah mendorongnya menuntut berbagai ilmu pengetahauan, terutama ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya dari para ulama, termasuk ulama besar Syekh Muhammad Firdaus, yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia.

Didikan orang tuanya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tertanam terus sejak kecil hingga kemudian diteruskan dalam mendidik putra-putranya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad. Prof. Dr. KH. Ali Yafie adalah pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya tahun 1947.

Baca Juga:  Pasar Tumpah Resahkan Masyarakat, Satpol PP dan PD Pasar "Turun Tangan"

Abd. Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)

AGH. Abd. Muin Yusuf yang populer disapa Kali Sidenreng, lahir di Rappang, 21 Mei 1920 dari pasangan Muhammad Yusuf asal Pammana Wajo dan Ibunya bernama Hatijah asal Rappang. Gurutta Kali Sidenreng adalah anak ketiga dari 10 bersaudara, dan memiliki 9 orang anak.

Ketika memasuki usia 7 tahun Gurutta mulai belajar mengaji kepada salah seorang guru mengaji kampung (Kyai Kampung), bernama H. Patang. Kemudian masuk lagi sekolah umum di Insladsche School (sekolah pagi). Ketika sore, ia belajar agama di sekolah Ainur Rafieq.

Pada umur 10 tahun, Kali Sidenreng kecil memulai pendidikannya di Indlandsche School atau sekolah dasar di zaman belanda, dan sore hari belajar di Sekolah Muhammadiah Sidrap, kemudian pindah ke Madrasah Ainur Rafiq besutan Syekh Ali Mathor yang merupakan kakek ulama terkemuka Prof. Quraish Shihab.

Syekh Ali Mathor adalah orang pertama yang memperkenalkan dasar ilmu agama Islam kepada Anregurutta Kali Sidenreng. Setelah menyelesaikan pendidikanya di Indlansche school tahun 1933, Kali Sidenreng berangkat ke Sengkang, Wajo untuk melanjutkan pendidikanya di Madrasah Arabiah Islamiah (MAI) yang merupakan asuhan dari ulama besar Sulawesi, Anregurutta Muhammad As’ad al-Bugisi.

Di lembaga pencetak ulama nomor satu di Indonesia Timur inilah, ia bertemu dan bergaul dengan banyak orang yang kelak menjadi ulama besar di Sulawesi Selatan, seperti AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Daud Ismail, AGH. Abduh Pabbaja, dan sebagainya. Setelah 4 tahun beguru di MAI Sengkang bersama Anregurutta Muhammad As’ad, Kali Sidenreng melanjutkan studi ke Normal Islam Majene, Sulawesi Barat, kemudian pindah ke Pinrang mengikuti kepindahan Normal Islam yang berubah nama menjadi Mu’allimat Ulya ke Kab. Pinrang, 1943 dan akhirnya berhasil menyelesaikan studinya pada1942.

Setelah itu, ia kembali ke kota kelahirannya di Rappang. Berkat kedalaman ilmu dan akhlak yang mencerminkan seorang ulama muda pada zamannya, ia yang baru berusia 22 tahun, sudah didaulat menduduki jabatan Qadhi (Kali). Dari sinilah beliau mulai digelari Kali Sidenreng. Pada tanggal 23 Juni 2004, AGH. Abdul Muin Yusuf dipanggil kehadhirat Allah SWT.

Penulis

Sri Hartati


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.