Mitrasulawesi.id — Indonesia adalah negara kaya bahan galian (tambang) seperti emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batubara, dan lain-lain.[1]“ air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”, ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 ini merupakan ketentuan hasil rumusan para pendiri negara, secara esensi mempunyai “roh” sangat luhur, bukan saja dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi ketentuan ini mempunyai makna religius. Makna religius dimaksud adalah adanya penegasan penguasaan negara atas kekayaan alam, dimana hasil kekayaan tersebut hanya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan yang lain.[2]
Pemerintah bertanggung jawab atas usaha pertambangan di negara ini, dimulai dari proses perizinan sampai pada pascatambang, negar dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah memastikan aktivitas pertambangan telah memenuhi syarat dan prosedur serta pelaksanaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat berupa : menjamin kepentingan masyarakat baik lapangan pekerjaan, perlindungan pencemaran lingkungan hidup maupun jaminan kelangsungan kehidupan sosial-budaya dan adat-istiadat setempat.
Sejak memasuki era reformasi sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem desentralisasi, memberikan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan dan mengatur daerahnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan memaksimalkan kedaulatan rakyat melalui prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan serta partisipasi masyarakat berjalan dengan baik. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3] Dengan Otonomi Daerah, pemberian izin kuasa pertambangan, izin kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara beralih dari Pemerintah Pusat menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
(Studi Kasus Problematika di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara) –
Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan kabupaten yang sebagian besar wilayah daratannya adalah pulau yakni sekitar± 1.513,98 Km2, terdiri dari daratan± 867, 58 Km2, Luas Perairan (laut) ± 646, 40 km2 dan garis pantai 178 km2.[4] Pada wilayah darat inilah terdapat potensi unggulan di bidang pertambangan seperti nikel, pasir krom, pasir kuarsa, marmer, emas, batubara, batu gunung dan sirtu (pasir kali). Investor/pemilik modal melihat ini sebagai peluang besar untuk mendapatkan keuntungan, sekaligus ikut berpartisipasi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional.
Dengan berbagai pertimbangan yakni: Pemulihan Ekonomi dan kesejahteraan rakyat, Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe (sebelum pemekaran) kemudian menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di pulau Wawonii, antara tahun 2008-2013 setidaknya ada 18 IUP yang diterbitkan namun hanya16 IUP yang berlanjut yakni tambang logam dan tambang non logam dengan total luas lahan 23.373 hektar atau 32% dari total luas daratan Pulau Wawonii.
Realitanya berbeda dari apa yang diharapkan, keberadaan perusahaan tambang di Indonesia kini . Disebabkan beberapa perusahaan tambang diduga telah menimbulkan dampak negatif dalam pengusahaan bahan galian. Dampak negatifnya antara lain: rusaknya lingkungan, tercemarnya laut, terjangkitnya penyakit (bagi masyarakat yang bermukim di daerah lingkar tambang), serta konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang. Tak ada bedanya di Kabupaten Konawe Kepulauan, hasil analisa dari beberapa literatur dan artikel yang mengulas tentang persoalan aktivitas pertambangan di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan, Selain telah menimbulkan konflik baru di masyarakat juga kehadiran perusahaan tambang tersebut telah melanggar batas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Sulawesi Tenggara mengeluarkan keputusan pembatalan/pencabutan terhadap 9 (sembilan) IUP di Pulau Wawonii pada tahun 2019 untuk meredam gejolak di masyarakat, menertibkan dan menata perizinan pertambangan minerba sebagai upaya penyelamatan potensi daerah dan lingkungan.
Sektor pertambangan jika dikelola dengan baik akan sangat menguntungkan pemerintah dan masyarakat seperti terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan devisa negara, pendapatan asli daerah, juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan yang tak kalah pentingnya pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan kualitas masyarakat terutama yang bermukim di wilayah lingkar tambang. – Continued
Oleh: Budiarto Suselman
Referensi :
– Salim HS (2014). Hukum Pertambangan Di Indonesia. Jakarta: Raja GrafindoPersada,hml. 1
– Nandang Sudrajat (2013). Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia. Yogyakarta: PustakaYustisia, 2013), hlm. 1
– Dimas, Bagus, Adam Idris, NurFitriyah. 2014. Jurnal Administrative Reform
“Analis Konflik Lahan Pertambangan” Edisi Nomor 2 Volume 2. 2014
– Kasmudin. 2018. Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility) Terhadap Masyarakat Kawasan Pertambangan,
SELAMI IPS. EdisiNomor 48 Volume 4.Tahun XXIII Desember 2018
ISSN 1410-2323383
– UU RI No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
– Badan Pusat Statistik Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan 2019
– UU RI No. 4 tahun 2009 tentangPertambangan Mineral dan Batubara
Penulis : Budiarto Suselmen merupakan alumni Lemhannas RI 2022, ex – BEM UHO Kementerian Advokasi dan Pergerakan 2015/2017, Menyelesaikan Skripsi dengan Judul : Pembatalan Izin Usaha Pertambangan berdasarkan Peraturan perundang-undangan, Pernah Mengikuti Lokakarya Kepemudaan “Pengelolaan dan Pemanfaatan Pertambangan Sulawesi Tenggara Berkarakter Kerakyatan dan Prespektif Ekologis” KNPI Sulawesi Tenggara serta Pemakalah Kegiatan Call Paper Nasional FH UII “Pembaharuan Hukum Administrasi Negara”. Pengalaman Bekerja sebagai Peneliti The Haluoleo Institute, Lembaga Survei Indonesia dari 2017 – sekarang.
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.