Begitu banyak hal yang diekspos oleh film Dirty Vote itu. Padahal pak JK menyebutnya film itu hanya menyampaikan sekitar 15% dari berbagai pelanggaran dan manipulasi yang terjadi dalam pilpres kali ini. Namun yang 15% itupun telah membuka, atau tepatnya menguatkan, kembali apa yang sudah lama diberitakan atau diceritakan oleh banyak kalangan. Dari isu upaya penjegalan calon tertentu (baca Anies), cawe-cawe dan keterlibatan langsung dan keberpihakan presiden kepada paslon tertentu, hingga penggunaan aparatur negara (pj kepala daerah/Kades) dan penggunaan fasilitas negara (bansos misalnya) dalam upaya memenangkan paslon yang didukung oleh Presiden.
Tapi akar dari semua pelanggaran dan manipulasi itu adalah cawe-cawe dan keterlibatan Presiden Jokowi dalam menentukan siapa yang boleh maju, dan (keinginannya) untuk mengganjal calon lain untuk maju pilpres. Puncak dari hawa nafsu Presiden untuk mempertahankan kekuasaan itu bukan baru. Dari ragam wacana yang dibangun, penambahan masa jabatan menjadi tiga periode, lalu wacana memperpanjang masa jabatan, konon kabarnya minimal 3 tahun, dan seterusnya.
Nafsu kekuasaan presiden Jokowi ini semakin terbuka dengan terjadinya friksi antara dirinya dan partainya (PDIP). Konon kekecewaan itu menjadi nyata ketika PDIP justeru menolak keinginan Jokowi menambah periode atau minimal menambah masa jabatan. Sejak itu terjadi drama-drama politik yang lucu dan menggelikan. Salah satunya Jokowi semakin lengket dengan PSI, bahkan anaknya (Kaesang) menjadi anggotanya. Tiga hari setelah menjadi anggota Kaesang diangkat menjadi Ketum Partai itu.
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.