Anti klimaks dari nafsu kekuasaan Jokoow semakin meninggi ketika partai-Partai Koalisi pendukung jagoannya tidak mampu mencapai kata sepakat tentang siapa yang akan mendampingi Prabowo di pilpres. Tiba-tiba drama yang menggelikan itu terjadi lagi. Wacana mencawapreskan Putra sulung Jokowi (Gibran) semakin menguat. Bahkan dibangun persepsi bahwa dialah yang dapat menyatukan partai-partai koalisi Prabowo.
Dari sini kita semua tahu cerita selanjutnya. Umur Gibran yang belum memenuhi syarat pencawapresan menjadi ganjalan. Maka yang harus dilakukan adalah merubah peraturan itu melalui Mahkamah Konstitusi yang juga diketuai oleh paman Gibran dan adik ipar Presiden. Perubahan itupun terjadi dengan terbukti melanggar etika berat. Sang paman pun harus menerima nasib dipecat dari posisi keketuaan MK.
Dengan lolosnya Gibran melalui proses manipulatif dan nepotis ini, lengkaplah semua alasan untuk Presiden melakukan pelanggaran-pelanggaran. Dan itu dilakukan tanpa malu-malu lagi. Di masa Presiden mana saja sebelumnya tidak ada presiden aktif yang terbuka mendukung, bahkan membuka diri untuk kampanye bagi paslon tertentu. Kali ini bahkan mengatakan terbuka jika presiden bisa mendukung dan berkampanye. Lebih jauh karena Presiden mendukung, terbukalah negara dipakai (aparat dan fasilitas) untuk mendukung dan kampanye bagi paslon tertentu (baca no 2).
Dengan film dokumentar Dirty Vote ini semua praktek-prakte kotor itu semakin jelas. Walaupun sekali lagi bukan hal baru. Karena sesungguhnya semua yang disebutkan di film itu telah beredar dan diketahui oleh publik. Satu di antaranya misalnya adalah pengangkatan Pj kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Walau ada dari Tim paslon 2 membantah hal ini, saya pribadi ada interaksi langsung dari salah seorang staf ahli Pj Gubernur itu. Menurutnya, saat ini dialah (staf ahli) yang menangani jabatan Gubenur di daerah itu karena Pj Gubenurnya sibuk kampanye untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Saya juga mendengarkan langsung dari beberapa kepala desa (keluarga dan teman) yang konon telah dipanggil oleh polres dan diperintahkan untuk memenangkan paslon no 2. Ada juga kepala desa yang dijanjikan dana desa yang boleh dipakai untuk apa saja (tentu maksudnya alat kampanye) dan tidak akan dimintai pertanggung jawaban asal memenangkan paslon no 2.
Kesimpulannya film dokumentar Dirty Vote sesungguhnya bukan hal baru dan tidak perlu mengejutkan. Bahkan kalau saja kita ikuti semua proses-proses itu, dari pencalonan capres/cawapres hingga ke skandal MK, pastinya bukan simsalabin. Tapi nampaknya sudah dipersiapkan rencana yang matang.
Yang mengejutkan kemudian adalah kepanikan dan respon itu justeru datang dari Tim paslon 2. Bukan dari Presiden, MK, KPU, Bawaslu, dan lain-lain yang menjadi obyek di film itu. Hal yang semakin menguatkan bahwa paslon no 2 hanya ingin berkuasa. Tidak ada keinginan untuk menjaga integritàs pemilu. Bukankah film ini tertujuan menjaga integritàs pemilu, demokrasi dan insitusi kenegraaan?
Wallahu a’lam!
JFK New York, 12 Pebruari 2024
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.