Perihal Valentine Days

oleh -
oleh
Penulis, Hastari Hudri

Sidrap, MitraSulawesi.id–Di antara hal yang selalu diributkan umat Islam di Indonesia menjelang pertengahan bulan Februari adalah fenomena perayaan Hari Valentine. Pro kontra pun terjadi di tengah-tengah masyarakat : ada yang menolak (bahkan mengharamkan) dan ada yang memperbolehkan, yang tentu dalam batas-batas tertentu.

Hari Valentine (Valentine Day) yang jatuh setiap tanggal 14 Februari memiliki sejarah panjang yang erat berhubungan dengan masyarakat nasrani. Kata Valentine itu sendiri diambil dari seorang pendeta pelayan tuhan yang bernama Santo Valentine. Ia-lah orang yang berani menolak kebijakan Kaisar Romawi Claudius melarang pernikahan dan pertunangan. Pelarangan ini berawal dari kesulitan pemerintahan Romawi merekrut pemuda dan para pria sebagai pasukan perang. Padahal pada masa itu, pemerintahan dalam keadaan perang dan sangat membutuhkan tenaga sebagai prajurit. Sang Kaisar menganggap kesulitan ini berasal dari keengganan mereka meninggalkan kekasih, istri dan keluarganya. Oleh karenanya, Sang Kaisar mengeluarkan peraturan yang melarang pernikahan, karena pernikahan dianggap sebagai salah satu penghambat perkembangan politik Romawi. Peraturan ini kemudian ditolak oleh santo Valentine sehingga ia dihukum mati pada tanggal 14 Februari 270 M. Hari inilah yang diabadikan oleh gereja sebagai hari Valentine dan dijadikan momentum simbolik pengungkapan kasih sayang oleh masyarakat nasrani. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi mampu meruntuhkan tembok pemisah ruang dan waktu. Hingga berbagai budaya itu dianggap milik bersama.

Maka banyak sekali kaum muslim yang ikut memeriahkan hari Valentine dengan berbagai tradisinya dan banyak pula kaum nasrani yang ikut memeriahkan hari raya. Bahkan mereka saling memberikan ucapan selamat. Baiknya, bagi kaum muslimin (khususnya yang sering berinteraksi dengan kaum nasrani) harus berhati-hati karena bisa saja terjatuh dalam kekufuran apabila dia salah meletakkan niat (maksud hatinya). Karena dalam Bughyatul Musytarsyidin dengan jelas diterangkan bahwa:
1) Apabila seorang muslim yang mempergunakan perhiasan/asesoris seperti yang digunakan kaum kafir dan terbersit dihatinya kekaguman pada agama mereka dan timbul rasa ingin meniru (gaya) mereka, maka muslim tersebut bisa dianggap kufur.
2) Apabila dalam hati muslim itu ada keinginan untuk meniru model perayaan mereka, tanpa disertai kekaguman atas agama mereka, hal itu terbilang sebagai dosa.
3) Dan apabila muslim itu meniru gaya mereka tanpa ada maksud apa-apa maka hukumnya makruh.

Baca Juga:  Deteksi Penyalahgunaan Narkoba di Sidrap, Polisi Periksa Polisi

Di Indonesia, terlihat jelas Hari Valentine diekspresikan dengan berbagai cara. Ada yang cukup dengan saling memberi ucapan, tukar hadiah, kencan, bahkan yang paling ekstrem dijadikan ajang untuk mesum, dalihnya saling melepas kasih sayang. Namun, saya memprediksi bahwa masih banyak para pelajar dan remaja kita yang mengekspresikan dengan cara-cara biasa, yaitu saling memberi coklat atau hadiah, yang merupakan korban dari tren (saya sendiri dulu pernah jadi korban ketika SMA). Jadi, jika ditilik lebih dalam, perayaan Hari Valentine di Indonesia yang sudah menjadi budaya, khususnya di kalangan remaja, tidak serta merta dimaknai secara teologis bahwa itu berasal dari tradisi non-Muslim. Juga tidak serta merta harus dihukumi secara fiqih bahwa itu tasyabbuh dengan budaya yang tak Islami.

Lebih dari itu, Hari Valentine harus dilihat dari kacamata budaya dan substansi, baru kemudian bisa dihukumi. Jika harus dihukumi, maka Hari Valentine hanyalah sebuah bungkus/label, seperti layaknya hukum infotainmen. Tinggal apakah isinya? Jika dalam kasus infotainment di televisi-televisi Indonesia macam-macam, ada yang sekadar memberitakan keseharian para selebritis, itu boleh-boleh saja. Namun jika sudah masuk pada fitnah dan mengumbar keburukan dan bahkan gosip, itu yang dilarang. Hari Valentine pun seperti itu, tinggal bagaimana merayakannya? Jika dirayakan dengan cara yang tidak dilarang agama, maka itu sah-sah saja. Seperti banyak umat Islam yang menggunakan kata “minggu” dan bulan-bulan non-hijriyyah untuk berbagai kegiatan, tergantung pada perilaku kita sendiri bagaimana.

Valentine Days untuk Generasi Muda Islam. Kita maklumi bersama bahwa secara historis Islam memang sudah punya Hari Valentine, yaitu hari Pembebasan Kota Suci Mekkah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 630 M atau tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H itu, Nabi Muhammad SAW beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun. Nabi mengampuni orang-orang yang dulu membuatnya terusir dari Tanah Airnya. Keburukan dan kekasaran yang ditimpakan kepada Nabi dibalas dengan cinta dan kasih sayang. Selain itu, ada juga tradisi di Bulan Muharram, di mana banyak umat Muslim tanah air yang menjalankan 10 kesunahan di bulan mulia itu, yang salah satunya adalah mengasihi anak yatim dan fakir miskin. Berbagai kegiatan di bulan Muharram adalah cerminan bahwa umat Islam adalah orang yang peduli kepada anak yatim dan kaum duafa. Ini adalah kasih sayang yang agama Islam ajarkan. Namun demikian, sebenarnya secara substansi ajaran kasih sayang dalam Islam adalah ajaran yang tidak berlaku surut. Dalam artian, di mana dan kapan pun kita umat Islam dituntut untuk saling mengasihi dan menolong sesama tanpa harus menunggu momentum tertentu. Setiap hari kita diharuskan menyayangi yang muda, dan menghormati yang tua, terlebih kepada orang tua sendiri. Tetapi juga tidak melarang adanya tradisi atau momentum tahunan, yang di Indonesia ini berlaku, seperti tradisi silaturrahmi Halal Bihalal, Tahlilan, dan lain sebagainya. Nah, berangkat dari keterangan di atas, bagaimana sebaiknya generasi muda Islam menyikapi Hari Valentine?

Baca Juga:  Di Usia 57 Tahun, H Anto Dapat Kejutan dari Armin Community

Pertama, bahwa generasi muda Islam tak perlu mengutuk-ngutuk Hari Valentine. Karena itu tidak hanya soal sejarah dan budaya, namun juga industri. Semakin digembar-gemborkan, mereka akan semakin laris jualan coklat. Jika dikutuk-kutuk, bahkan dengan fatwa sekalipun, itu justru tidak memberikan solusi yang cerdas, alih-alih justru upaya yang sia-sia. Intinya, Hari Valentine hanyalah label dan bungkus. Isinya? Itulah para tugas generasi muda Islam untuk mengisi dan merayakannya dengan hal yang tidak bertentangan dengan agama. Jika hanya memberi kado dan hadiah lain, saya kira itu tak masalah.

Kedua, generasi muda Islam mesti bisa membikin budaya tandingan Hari Valentine, yang isinya positif, konstruktif dan inspiratif. Misalnya, membuat Valentine Days dengan kongko budaya, bedah buku, kajian cinta dalam Islam, bedah film, atau hal yang kekinian dan hits lain. Dengan begitu, bungkus yang memang dari budaya Barat itu kita filter menjadi budaya yang secara substansi tak bertentangan dengan ajaran Islam. Mengapa tidak? Sesepuh-sesepuh kita Walisongo penyebar Islam di Tanah Jawa telah mencontohkan, bagaimana tradisi dan budaya non-Islam berhasil diislamisasi secara substansi. Wayang yang dulu hanya dikenal dengan wayang beber, diubah secara revolusioner bentuknya menjadi wayang kulit, bahkan isinya dengan cerita yang mendekatkan kepada ajaran tauhid. Misalnya, para dewa-dewa yang ada di wayang itu, silsilah-silsilahnya berhenti sampai Nabi Adam AS, juga banyak memuat ajaran kebaikan.

Baca Juga:  Jelang Ramadhan, Polres Sidrap Bakal Amankan Kendaraan Berknalpot Brong

Secara istilah, karena kita orang Nusantara sudah banyak tradisi dan budaya, tidak serta merta dihilangkan begitu saja ketika Islam masuk. Ini berkesesuaian dengan ajaran Islam itu sendiri yang tidak membasmi yang telah ada, namun menyempurnakan. Walisongo menjaga dan berhasil mengonversi itu dengan baik. Istilah “kiai” yang sudah ada di sini tetap digunakan, tidak dengan kata “ustadz” atau “syekh.” Istilah “sembahyang” tetap dipakai meski isi dan perilakunya adalah shalat. Istilah “langgar” tetap di pakai, tidak langsung dengan masjid atau mushalla. Bahkan, para pendahulu tidak langsung dengan kata ganti Allah melainkan kata “Pangeran” yang dipakai. Namun, pelan tapi pasti, bungkus itu isinya dimasuki ajaran yang Islami. Selain itu, banyak sekali tradisi pra-Islam yang kemudian dikonversi oleh Walisongo menjadi tradisi Islami yang sampai saat ini ada di Indonesia dan menjadikan Islam mengakar dan kuat.

Intinya, kita Jangan serta merta mengutuk bungkus/label, namun yang lebih penting dari itu adalah isi dan substansi. Hari Valentine pun demikian. Jika kemudian generasi Islam zaman now mampu mengubah isinya menjadi hal yang positif, inspiratif, konstruktif, bukankah itu lebih hebat dampaknya dari sekadar fatwa?

Penulis
Hastari Hudri

Tinggalkan Balasan