Opini — Mitrasulawesi.id — Sebelum sampai pada pemilu 2024, kita perlu melihat beberapa hal kebelakang tentang penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019 lalu, yang memang perlu kita menjadi suatu persoalan yang harus ditinjau pada aspek keadilan, kebenaran dan keselamatan petugas pemilihan. Hal itu juga harus menjadi alat ukur pelaksanaan pemilu serentak pada 2024 nanti.
Idealnya bahwa pesta demokrasi harus dilangsungkan dengan adil dan terbuka tanpa adanya suatu tindakan-tindakan yang tidak akuratif dan tranparansi. Sebelumnya jika hal demikian dari pelaksanaan pemilu 2024 lebih tidak melahirkan kesenjangan yang jauh antar masyarakat, maka perlu adanya manajemen risiko yang memadai oleh penyelenggara pemilihan umum itu sendiri.
Meskipun pemilu serentak sudah dinilai lebih baik dari pemilu-pemilu sebelummnya bukan berarti dalam pelaksaanannya tidak memiliki kekurangan. Masalah yang paling menggemparkan adalah banyaknya korban jiwa oleh penyelenggara pemilu yang dinilai sebagai dampak pelaksanaan pemilu serentak 2019 serta masalh masalah teknis lainnya. Melihat dari berbagai sisi yang ditumbulkan dari pemilu 2019, maka Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melakukan uji materil Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang dituangkan kedalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. (Mushaddiq Amir).
Pemilu dalam demokrasi yang akan berlangsung harus dapat dilakukan dengan melihat sub-sub risiko yang akan didapatkan. Model-model pemilu pun harus melalui pengkajian mendalam dan koheren. Mendasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tiga hal yaitu, keterkaitan sistem pemilihan umum dengan sistem pemerintahan presidensial, dasar pemikiran dalam perumusan UUD 1945, efektivitas dan efisiensi pemilu dan hak warga negara untuk memilih dengan bijak.
Dalam hal ini, yang yaitu keterkaitan pelaksanaan pemilu dengan sistem presidensil juga di gambarkan dengan adanya demokrasi yang mengakar sebagai sistem yang cukup kuat dengan mengutamakan hak-hak memilih warga negara terhadap pemimpin dan wakilnya. Maka cukup kuat adanya negosiasi politik yang dilakukan kepada masyarakat dan lain sebagainya, tidak salah akan tetapi perlu pengawasana agar yang sudah kita khawatirkan juga dapat di batasi.
Tentu saja pemilu pada 2024 harus mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran dalam penyelenggaraan pemilu. Jika melihat kebelakang sepertinya tidak berjalan adil dan benar serta dimulai dengan banyaknya klaim elektabilitas tidak benar sampai pada jatuhya korban jiwa pada pelaksaan pemilu itu sendiri, itu yang harus dapat kita hindarkan bersama pada setiap kegiatan demokrasi.
Profesional penyelenggara pemilu mnejadi tolak ukur dalam praktik pelangaran prinsip-prinsip etik.
Unsur profesionalita ini perlu menjadi titik tekan dalam pemenuhan stuktur penyelenggara pemilu di Inidensia yang antara lain meminjam beberapa unsur yang perlu dipenuhi menurut IDEA adalah adanya keterampilan manajerial yang tinggi; komitmen integritas dalam situasi yang penuh tekanan; memiliki anggota dengan berbagai macam keterampilan dan latar belakang kepakaran, seperti hukum, komunikasi, Pendidikan, logistic, dan manajemen. Selain itu, pengetahuan kepemiluan juga menjadi keniscayaan. Pengetahuan kepemiluan bukan semata-mata paham tentang dimensi pemilu dalam pengertian luas dan sempit-akan tetapi juga berkaitan dengan pemahaman para penyelenggara terhadap hakikat pemilu dan prinsip-prinsip etik yang melekat sebagai institusi demokrasi yang sangat strategis.
Antisipasi lain yang perlu dilakukan KPU dan Bawaslu beserta jajaran adalah menjadikan kasus-kasus persidangan etik DKPP menjadi bagian dari mitigasi risiko organisasi. Artinya,pengembangan organisasi penyelenggara pemilu yang modern tidak bisa dilepaskan dari hakikat tujuan yang ingin dicapai yakni pemilu yang berintegritas dan demokrasi yang bermartabat. Mitagasi risiko atas kasus-kasus pelangaran etik bisa mendorong intitusional penyelenggara pemilu bebenah diri dalam mempersiapkan manajerial tata kelola pemilu sebagai institusi yang memiliki tingkat kelayakan integritas tata kelola penyelenggara pemilu sebagai bagian dari reformasi pemilu berkaitan dengan bangunan besar institusi penyelenggara pemilu yang dicerminkan oleh peraturan-peraturan kelembagaan di satu sisi, serta institusi yang beretik dan berintegritas di sisi lain.
Konsekuensi logisnya agar pemilu yang berintegrtas dapat dicapai dan menggapai keadilan serta kebenaran, penyelenggara pemilunya harus memenuhi kaidah-kaidah etik sebagai penyelenggara. Dalam iplementasinya bukan hanya sekedar paham, tetapi perlu menjadikan prinsip etik sebagai dasar dalam membangun budaya modern dalam institusi penyelenggara pemilu dan diejahwantahkan dalam praktiknya.
Apalagi tahapan dan proses pemilunya berhimpit dan juga bisa terjadi pada situasi-situasi non tahapan pemilu. Salah satu delik yang sering diadukan adalah delik profesionalitas penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dalam kasus aksesibilitas informasi penyelenggara pemilu, seperti kasus permintaan hasil kajian sebuah laporan pengaduan atau pelanggaran. Mitigasi yang diperlukan misalnyya, KPU dan Bawaslu perlu merombak pendefenisian informasi yang dikecualikan, karena pada prinsipnya informasi hasil pemilu dan penangganan pelanggaran bukanlah informasi yang sifatya rahasia dan harus disembunyikan dari publik.
Selain itu, beberapa Langkah mitigasi yang terus bisa didorong oleh penyelenggara pemilu adalah pertama, Menyusun standar operasional prosedur yang berdimensi etik; kedua, membenahi aturan dan praktik rekrutmen khsusnya dengan memperhatikan pada [pemenuhan syarat integritas individual calon penyelenggara; dan ketiga mendorong modernisasi tata kelola pemilu yang semakin baik, misalnya dengan membangun birokrasi dan manajemen tata kelola pemilu yang memenuhi standar ISO-atau standar integritas organisasi/institusi publik seperti yang indikatornya telah disusun oleh Komisi Pemberantas Korupsi.
Oleh : Sri Irawati Mukhtar
(Peserta Advance Training Badko Riau-Kepri)
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.