Opini, MitraSulawesi.id– Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) dalam pertumbuhannya berbeda dengan kelaziman organisasi yang ada secara umum, sebab DDI benar-benar tumbuh dari akar rumput masyarakat yang ada dipedesaan, sehingga pedesaan adalah basis terkuat bagi DDI, dan dari desa inilah tumbuh berkembang ke kota-kota. Sejarah berdirinya DDI melibatkan beberapa para tokoh ulama yang ada di Sulawesi Selatan, berikut beberapa biografi tokoh ulama yang terlibat dalam berdirinya DDI.
1. KH. Abd. Rahman Ambo Dalle
Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi. Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Ambo dalle segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.
Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).
Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih saja.. melainkan juga mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS dan pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.
2. K.H. Muh. Daud Ismail (Qadhi Soppeng)
Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail adalah sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis. Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M., buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di Sengkang. Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama Sengkang. Daud Ismail adalah seorang yang otodidak, sejak kecil belajar sendiri untuk mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, beliau juga pernah menimba ilmu pada banyak guru, baik di Soppeng (Kabupaten Soppeng) maupun di Soppeng Riaja (Kabupaten Barru), Sulawesi Selatan. Antara tahun 1925 – 1929 Daud Ismail juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula Daud Ismail belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.
Setelah Anregurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anregurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle. Gurutta Daud Ismail temasuk santri yang paling disayangi oleh Anregurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Gurutta Daud Ismail tidak diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.
“Laing memetto gurutta Sadeusedding batena mappa
guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anregurutta Muhammad As`ad – dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.
3. K.H. Muh. Abduh Pabbajah
AGH Abduh Pabbaja dilahirkan di Allekkuang, Kabupaten Sidenreng Rappang. Ayahnya bernama La Pabbaja dan Latifa nama ibunya. Beliau anak bungsu dari Sembilan bersaudara. Dilahirkan pada tahun 1919 dan wafat tahun 2009 dalam usia 90 tahun. AGH Abduh Pabbajah memiliki lima anak dari istrinya Hj. Khadijah. Sebelumnya beliau menikah dengan Saribanong dari Pare-pare dan Hj. Kaliman dari Allekuang Sidrap tapi keduanya tidak memiliki keturunan. Begitu juga dengan Hj. Andi Norma istri keempat asal Pare-pare tidak memiliki keturunan.
AGH Abduh Pabbaja mengenal pendidikan dasar di SR Rawa sampai kelas dua, kemudian melanjutkan di Madrasatul Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang yang dibimbing langsung AGH. Muh. As’ad. Beliau merupakan angkatan kedua bersama AGH. Muh Yunus Martan Asal Belawa, Wajo. AGH Abduh Pabbaja mendalami berbagai pelajaran, memperkuat hafalan dan keahliannya dalam Bahasa Arab untuk mendalami berbagai disiplin ilmu. Konon, beliau pernah pulang kampung di Sidrap sehingga ketinggalan mempelajari ilmu Fanaidh (membuat syair Arab), lalu saat kembali ke Sengkang beliau fokus mendalami ilmu tersebut. Pengabdian AGH Abduh Pabbaja dimulai dengan membuka cabang MAI di Allekkuang untuk tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Kemudian tahun 1949, beliau diangkat sebagai kali sidenreng.
4. H. Abd. Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)
AGH. Abd. Muin Yusuf yang populer disapa Kali Sidenreng, lahir di Rappang, 21 Mei 1920 dari pasangan Muhammad Yusuf asal Pammana Wajo dan Ibunya bernama Hatijah asal Rappang. Gurutta Kali Sidenreng adalah anak ketiga dari 10 bersaudara, dan memiliki 9 orang anak. Ketika memasuki usia 7 tahun Gurutta mulai belajar mengaji kepada salah seorang guru mengaji kampung (Kyai Kampung), bernama H. Patang. Kemudian masuk lagi sekolah umum di Insladsche School (sekolah pagi). Ketika sore, ia belajar agama di sekolah Ainur Rafieq. Lahir dari keluarga agamawan, bangsawan dan pedagang membuatnya terus dimotovasi untuk belajar ilmu agama oleh keluarga dekatnya. Sebab secara finansial, kedua orang tua Gurutta cukup mapan. Karenanya, ia terus didorong untuk memperdalam ilmu agama. Pulang berhaji dan menuntut ilmu di Makkah, Gurutta kemudian belajar secara informal kepada seorang ulama tasawuf, Syeikh Ahmad Jamaluddin yang lebih dikenal sebagai Syeikh Jamal Padaelo. Dari sinilah Gurutta semakin mendalami ilmu ma’rifat. Gurutta kemudian kelak yang menggantikan Syeikh Jamal Padaelo menjadi Kadhi di Wilayah Sidenreng Rappang. Dan kelak pula, Gurutta mempersunting puteri Syeikh Jamal Padaelo yakni, Hj. Baderiah Binti Syeikh Ahmad Jamaluddin.
Ditahun 1934, Gurutta melanjutkan pengembaraan ilmunya di Sengkang pada dibawah bimbingan Almukarram AGH. Muhammad As’ad al Bugis. Disana, Gurutta berjumpa dengan sejumlah santri yang kelak menjadi ulama besar pula, sebutlah diantaranya; AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle, AGH. Junaid Sulaiman, AGH. Daud Ismail, AGH. Abduh Pabbajah, AGH. M. Yunus Maratang, dll.
Perjalanan dinamika intelektual Gurutta yang cukup panjang itu membuatnya dikenal sebagai “Kali Sidenreng” (Qadi). Sebab keluasan dan kedalaman ilmu agamanya sungguh tak diragukan. Ia adalah pakar fiqhi dan tafsir sehingga diberi gelar “Kali” (Qadhi – Arab). Tak salah bila ia termasuk salah satu anggota Tim Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kini dipakai Hukum Acara di seluruh Pengadilan Agama se-Indonesia itu. Pada awal 1974 Gurutta membangun PPUW di kampung (sekarang kelurahan) Benteng, kecamatan Baranti, kabupaten Sidrap. Pondok itu ia bangun bersama warga sekitar.
5. K.H. M. Ali Al-Yafie
AG. H. Ali Yafie (lahir 1 September 1926) adalah ulama fiqh dan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia. Ia adalah tokoh Nahdlatul Ulama, dan pernah menjabat sebagai pejabat sementara Rais Aam (1991-1992). Saat ini, ia masih aktif sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya tahun 1947, serta sebagai anggota dewan penasehat untuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ali Yafie memperoleh pendidikan pertamanya pada sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan di Madrasah As’adiyah yang terkenal di Sengkang, Sulawesi Selatan. Spesialisasinya adalah pada ilmu fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli dalam bidang ini. Ia mengabdikan diri sebagai hakim di Pengadilan Agama Ujung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian inspektorat Pengadilan Agama Indonesia Timur (1962-1965).
Sejak 1965 hingga 1971, ia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, dan aktif di NU tingkat provinsi. Ia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971. Pada muktamar NU 1971 di Surabaya ia terpilih menjadi Rais Syuriyah, dan setelah pemilu diangkat menjadi anggota DPR. Kemudian ia tetap menjadi anggota DPR sampai 1987, ketika Djaelani Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon.
Sejak itu, Ali Yafie mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI).[butuh rujukan] Pada Muktamar NU di Semarang 1979 dan Situbondo 1984, ia terpilih kembali sehagai Rais, dan di Muktamar Krapyak 1989 sebagai wakil Rais Aam. Karena Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991, maka sebagai Wakil Rais Aam ia kemudian bertindak menjalankan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang sebagai pejabat sementara Rais Aam. Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid mengenai penerimaan bantuan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial untuk NU, Ali Yafie menarik diri dari PBNU.
Penulis
Muhammad Rizal Samad
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.