Genosida Gaza dan Perubahan yang Tak Terbendung

oleh -

Shamsi Ali-Kajangi

Tak teringkari bahwa secara kalkulasi akal manusia, Gaza telah di luluh lantahkan oleh kekuatan penjajah Israel. Lebih 45.000 yang syahid, mayoritasnya adalah anak-anak dan wanita. Infrastruktur; perumahan, sekolah, rumah sakit, hingga rumah-rumah ibadah dihancurkan tanpa rasa kemanusiaan. Belum lagi mereka luka-luka akibat serangan bom yang membabi buta dari udara oleh Israel. Ditambah mereka yang terancam meninggal karena kelaparan dan malnutrisi akibat blokade bantuan pangan untuk penduduk Gaza oleh Israel.

Kepedihan dan penderitaan yang dialami oleh bangsa Palestina, khususnya mereka yang di Gaza, tidak dapat diukur oleh ukuran rasa manusia. It’s beyond our human comprehension (semua itu ada di luar nalar biasa manusia). Namun semua itu tidak mengurangi dan mengecilkan semangat mereka untuk hidup. Mereka sesungguhnya memiliki pemahaman tentang hidup dalam arti yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan itu tidak sesempit yang dipahami oleh nalar dan indra manusia semata yang penuh keterbatasan. Ternyata hidup itu lebih luas dalam makna dan nilai dari sekedar apa yang dipahami oleh manusia secara umum.

Baca Juga:  Wagub Sulap JPS Menjadi THR, Guru Honorer Ucap Terima Kasih

Bangsa Palestina, khususnya mereka yang di Gaza, sesungguhnya telah membuka mata kita bahwa pemahaman manusiawi yang penuh keterbatasan itu bukanlah ukuran dalam mendefinisikan arti kehidupan dan kemenangan. Justeru seringkali pemahaman tentang hidup dan kemenangan tidak sejalan dengan ukuran logika biasa manusia. Hanya pemahaman akan hidup seperti inilah yang menjadikan pahitnya kepedihan yang mereka merasakan justeru berbalik menjadi sesuatu yang manis. “Dan jika kamu merasakan kepedihan maka sesungguhnya mereka juga merasakan kepedihan. Tapi kamu memiliki harapan dan mereka tidak memiliki harapan itu”.

Dalam konteks inilah kita dapat melihat bahwa sesungguhnya apa yang terjadi di Palestina saat ini merupakan “tadzkirah imaniyah” (peringatan keimanan) bahwa di atas segalanya ada Dia Yang “segala-galanya” (menguasai dan memiliki segalanya). Termasuk makna dari segala yang terjadi dalam hidup manusia. Hitam putih makna kehidupan ditentukan oleh yang memiliki segala-galanya.

Baca Juga:  PLN Tebar Berkah, Tambah Daya untuk Rumah Ibadah Hanya Rp 150 Ribu

Sejak penjajahan Israel ke bangsa Palestina dari tahun 1948, berlanjut ke tahun 1967 hingga kini, dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi dari masa ke masa, puncaknya di bulan Oktober 2023 lalu, banyak realita yang Allah bukakan untuk kita semua. Mata-mata manusia yang selama ini dipaksa buta oleh berbagai hal, termasuk oleh kekuatan duit (money might) dan media, kini mulai terbuka secara alami.

Dunia Barat, khususnya negara-negara besar dan kuat seperti Amerika, Inggris dan Jerman, selama ini dinina bobokkan dan dibutakan oleh Kekuatan tersembunyi (invisible hands) untuk melihat realita yang terjadi, bukan saja di Palestina dan Timur. Tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Tidak jarang penglihatan penglihatan, pendengaran dan akal pemikiran mereka dipaksa terbalik (forcibly twisted) oleh kekuatan yang tak nampak itu.

Salah satu hal terpenting yang sedang terjadi dengan kepedihan dan penderitaan saudara-saudara kita di Gaza dan Palestina umumnya adalah terjadinya eksposur yang luas tentang realita yang selama ini masih tersembunyikan. Melalui genosida, pembunuhan massal dan penghancuran totalitas di Gaza nampaknya memang Allah jadikan sebagai salah satu pembuka realita yang sesungguhnya. Dengannya Allah nampak kan “kebenaran dan kebaikan sebagai kebenaran dan kebaikan” dan sebaliknya “kebatilan dan kejahatan sebagai kebatilan dan kejahatan” sejelas-jelasnya.

Baca Juga:  Pelaku Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Ternyata Pasutri yang Baru Menikah

Dengan tereksposnya kebatilan dan kejahatan itu, mata hati dan nurani banyak manusia semakin terbuka. Pembantaian dan destruksi yang terjadi kepada bangsa Palestina di Gaza itu bagaikan “thommah” (ketukan) dahsyat yang terjadi dan mengingatkan manusia akan nilai kemanusiaan dan nuraninya. Mengetuk kesucian hati (fitrah) bahkan perasaan universal kemanusiaan (common sense) mereka.


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.