Perubahan Iklim , Profesor Dwikorita : El Nino-La Nina Cenderung Berulang

oleh -
oleh

Madrid.Spanyol.Mitrasulawesi.com –– Pemerintah Indonesia terus memperbarui teknologi pemantauan cuaca dan iklim. Langkah ini penting agar kebijakan mitigasi perubahan iklim bisa ditentukan dengan tepat. Pembaruan teknologi itu juga penting untuk menentukan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim yang diperlukan.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Profesor Dwikorita Karnawati

Profesor Dwikorita Karnawati juga menyampaikan gejala perubahan iklim sudah terjadi. Salah satunya bisa dilihat dari fenomena iklim El Nino dan La Nina. “Secara statistik periode ulang terjadinya El Nino-La Nina pada periode 1981-2019 mempunyai kecendrungan berulang semakin cepat dibandingkan periode 1950-1980,” ucap Dwikorita, saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP UNFCCC ke 25 di Madrid, Spanyol, Rabu (4/12/2019).

Perubahan iklim yang terjadi adalah buntut dari terus meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Menurut Dwikorita, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) tercatat paling tinggi dalam sejarah dengan CO2 (karbondioksida) mencapai 405.5 ppm (part per million), CH4 (metana)  sebanyak 1859 ppb (part per billion) and N2O (dinitrogen monosida) mencapai 329.9 ppb. Catatan tersebut berarti konsentrasi GRK sudah  mencapai masing-masing 146%, 257% dan 122% di atas masa pra revolusi industri.

Baca Juga:  Restoran Nakal Tak Bayar Pajak, Bapenda Gowa Lakukan Penutupan Paksa

Menghadapi situasi tersebut, Indonesia terus memperbaiki teknologi pemantauan iklim dan cuaca. Sistem observasi yang ada di lapangan diperkuat dengan dukungan sistem informasi. Ini bisa memberikan hasil pemantauan iklim dan cuaca sesuai kebutuhan masyarakat.terang Dwikorita

Lanjut Dwikorita mengatakan . Berkat pembaruan teknologi pemantauan itu, prediksi yang awalnya hanya bisa dalam jangka waktu tiga sampai empat dasarian -sepuluh harian berturut turut-, kini bisa dilakukan hingga tiga bulan ke depan. Indonesia kini juga bisa membangun sistem peringatan dini cuaca dan iklim mulai dari prediksi terjadinya banjir, kekeringan, hingga kemungkinan mewabahnya penyakit demam berdarah akibat perubahan iklim.

Dwikorita juga mengatakan penggunaan teknologi pemantauan terbaru penting agar masyarakat yang terdampak perubahan iklim juga bisa melakukan adaptasi. Menurut dia, petani dan nelayan adalah pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

Lebih lanjut Dwikorita menjelaskan, petani Indonesia dulu berpegangan pada pengetahuan lokal yang disebut pranoto mongso. Pengetahuan ini memberi panduan petani terkait waktu tanam, jenis tanaman dan berbagai hal tentang budidaya pertanian lainnya. Ucap Dwi

Baca Juga:  Bawaslu Selayar Gelar Apel Siaga Pengawasan di Masa Tenang

“Namun perubahan iklim telah membuat disrupsi pranoto mongso. Ketika masuk waktu tanam, malah tidak bisa karena tidak turun hujan,” kata Dwikorita.

Merespon situasi tersebut sudah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatan adaptasi petani dan nelayan terhadap perubahan iklim. Petani akan dibimbing untuk mengembangkan pola budidaya pertanian baru menyesuaikan perubahan iklim yang terjadi. Sementara nelayan akan mendapat pembinaan sehingga bisa memahami cuaca lautan lebih baik dan mengetahui lokasi keberadaan ikan (fishing ground)  “Ini mengubah paradigma nelayan dari ‘mencari ikan’ menjadi ‘menangkap ikan’,” Terang Dwikorita.

Sementara itu Kepala Badan Informasi dan Geospasial Profesor Hassanuddin Z Abidin  menyatakan, informasi geospasial sangat bermanfaat untuk manajemen pengurangan risiko kebencanaan.

Menurut Hassanudin, Indonesia secara alami rawan dengan berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi. Bencana alam terkait hidrometerologi seperti banjir longsor serta kekeringan dan kebakaran lahan menjadi tren pada periode tahun 2003-2018. Padahal, sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di wilayah rawan bencana. “Informasi spasial seperti peta dasar dan tematik mendukung pengurangan risiko bencana,” katanya.

Baca Juga:  Dari Pengalaman Organisasi, Bung Afdal Maju Calon Kades dengan Harapan Bontona Saluk Bisa Lebih Maju

Informasi tentang kebencanaan disampaikan melalui Portal Geospasial (http://tanahair.indonesia.go.id/portal-web). Sumber data informasi tersebut berasal dari masing-masing kementerian, termasuk KLHK. Portal ini merupakan upaya pemerintah untuk membangun transparansi data dan informasi melalui kebijakan One Map Policy yang antara lain menghasilkan Satu Data rujukan nasional

Program yang dilaksanakan oleh BMKG dan BIG tersebut, sejalan dengan upaya KLHK dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim dan penerapan pola hidup rendah emisi GRK melalui pelaksanaan Program Kampung iKlim (ProKlim).

Menurut KLHK sejumlah 2.086 lokasi setingkat Desa/Kelurahan dan Dusun/RW telah teregistrasi srbagai Kampung Iklim. Baru-baru ini KLHK memberikan penghargaan kepada sejumlah 187 penerima Trophy -184 Kategori ProKlim Utama dan 3 Kategori ProKlim Lestari-.

Hassanudin melanjutkan, pihaknya juga bisa menyediakan informasi terkait cadangan karbon di lapangan untuk mendukung diperolehnya kebijakan pengelolaan lahan yang tepat.(*)


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.