Opini: Badik untuk Literasi

oleh -
oleh
Penulis, Hamka Pakka Jurnalis MitraSulawesi

Opini, MitraSulawesi.id– Beberapa hari yang lalu penulis dihubungi oleh salah seorang teman via Whatsaap. Dia meminta penulis menjadi narasumber pada kegiatan Webinar Literasi yang diselenggarakan oleh Akulturasi Universitas Alauiddin Negeri Makassar (UINAM).

Teman-teman Akulturasi mengangkat suatu tema yang penulis anggap cukup menarik, yakni, “Strategi Pengembangan Literasi dalam Membangun Minat Literasi”. Indeks literasi masyarakat kita memang terhitung rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Program For International Student Asessment (PISA) yang dirilis Organization For Econmoic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Indonesia mendapati rangking 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki literasi tingkat rendah.

Tentu data ini merupakan fakta yang harus kita terima dan mencoba mencari cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penulis pikir hal itu jugalah yang memicu keresahan teman-teman Akulturasi sehingga mereka menggelar kegiatan Webinar Literasi ini.

Menyikapi tema di atas, dalam Webinar tesebut penulis menawarkan gagasan BADIK untuk mengembangkan minat literasi.

Eh, tunggu. Kok, badik? Bukankah badik itu senjata tajam? Apa hubungannya dengan literasi?

Baca Juga:  Opini: Mengulas Pasar Persaingan Sempurna

Don’t Judge By Cover! Makanya, baca aja, ya ulasan di bawah ini.

BADIK untuk literasi

Untuk membangun minat literasi masyarakat, penulis menawarkan suatu gagasan yang penulis istilahkan BADIK. BADIK dalam suku bugis merupakan salah satu benda pusaka dan merupakan salah satu identitas suku bugis. Tapi, BADIK yang penulis maksud bukan badik tersebut. Karena BADIK yang penulis maksud merupakan singkatan dari Baca, Diskusi, dan karya.

Ya, untuk meningkatkan minat literasi masyarakat, kita butuh gerakan yang mengarah pada peningkatan minat baca. Di era digital saat ini, bahan bacaan tersebar di mana-mana, hanya saja, gairah dan minat baca masyarakat yang kurang.

Penulis teringat saat penulis masih mahasiswa, saat itu, ada salah satu Dosen setiap kali kami bertemu ia selalu menanyakan apakah di dalam tas penulis terdapat sebuah buku. Jika, penulis menjawab tidak, maka beliau memberikan wejangan tentang pentingnya membawa dan membaca buku di manapun kita berada. Menurutnya, untuk bisa tertarik dan jatuh cinta pada membaca buku kita mesti harus selalu bersama buku. Salah satunya, selalu mengisi buku dalam tas yang sering kita pakai.

Baca Juga:  Opini: Peran Milenial Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Seperti apa yang dimaksud dengan Erich Formn dalam bukunya berjudul Filsafat Cinta. Erich Fromm mengatakan “Cinta itu tumbuh karena keterbiasaan berinteraksi”. Jadi, untuk bisa jatuh cinta pada buku, ya, mesti selalu bersama buku. Bukan begitu?

Kembali ke cerita penulis dengan si dosen. Karena nasehat itu yang terjadi secara berulang sehingga mampu mengubah karakter penulis dari tidak berminat membawa dan membaca buku menjadi berminat membawa dan membaca buku. Hingga saat ini, di dalam tas penulis selalu tersimpan sebuah buku, dan setiap tempat tongkrongan, penulis selalu menyempatkan untuk membacanya.

Sama seperti yang sering penulis lakukan ke kamu, iya, kamu yang saat ini membaca tulisan ini. Bukankah saya selalu meluangkan waktu untuk membaca chat mu, meski saya sibuk. Hehehe.

Hal sederhana yang dilakukan dosen tersebut ternyata mampu merangsang minat baca penulis. Dan hegemoni-hegemoni seperti itu bisa kita gaungkan di sekitaran kita. Dengan demikian, penulis yakin dan percaya lambat laung budaya membaca buku itu akan tersebar di sekitaran kita.

Selain gerakan membaca, kita juga harus memperbanyak ruang-ruang diskusi. Salah satunya, kegiatan Webinar Literasi seperti ini. Baik webinar itu kita desain dengan konsep virtual maupun offline. Apalagi setiap ruang-ruang diskusi kita selipkan pesan-pesan yang kita dapatkan dari hasil bacaan kita, karena hal itu juga bisa mengundang daya tarik seseorang terhadap buku. Terakhir, berkarya. Berkarya, bukan hanya sekedar menulis, melainkan juga berkarya dalam bentuk lain, seperti membuat video, foto yang isinya terkandung nilai edukatif di dalamnya.

Baca Juga:  Opini : Manajemen Pengelolaan Pesantren

Ditengah masyarakat kita yang komsumtif dan banyaknya konten-konten hiburan yang miskin akan edukasi yang beredar, maka, kita bisa mengimbanginya dengan membuat suatu konten yang isinya penyadaran akan pentingnya budaya literasi. Sehingga, pengguna sosial media punya pilihan untuk memilih konten-konten yang tersebar.

Dengan menumbuhkan budaya membaca, diskusi, dan berkarya, penulis yakin akan mampu membangun dan mengembangkan indeks literasi masyarakat. Terakhir, izinkan penulis mengakhiri tulisan ini dengan mengutip ungkapan dari salah satu penulis ternama, Taylor Ellwood. Kata beliau “Literasi bukan hanya tentang membaca, menulis, dan memahami. Ini tentang budaya, profesionalisme, dan pandangan sosial”.

Penulis: Hamka Pakka

Editor: Tim Redaktur Mitra Sulawesi