Adab vs Ilmu

oleh -

Saya kemudian tersadarkan bahwa selama ini kata atau masalah “musik” memang menjadi salah satu masalah yang sering dijadikan sebagai “alat menyalahkan” dan “menghakimi” orang dalam keislaman. Bahwa ketika seseorang itu memiliki pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan orang yang mengharamkannya maka keislaman orang tersebut tidak benar, dan dia dianggap kurang dalam beragama.

Melihat perdebatan itu saya menjadi agak geli. Karena saya juga termasuk Imam (Ustadz) yang dianggap “less appropriate” (kurang pantas) sebagai ustadz karena masalah musik ini. Saya berpandangan bahwa musik itu adalah seni. Dan seni (estetika) itu adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Jadi sebagaimana banyak hal dalam kehidupan, termasuk media dan informasi (khususnya dunia online), apalagi media sosial, adalah hal yang sesungguhnya netral. Tergantung kepada “substansi, cara dan tujuan” dari pemakaiannya.

Kalau ternyata musik itu substansinya (lirik dan ritmenya) justeru mengingatkan kita kepada Allah maka apakah hal itu diharamkan? Sebagaimana dunia internet dengan segala kebaikan dan keburukan yang ada padanya ditentukan oleh pemakainya. Bagaikan pisau, bisa dipakai memotong sayuran atau memotong leher sendiri.

Pandangan saya ini bersifat “common sense” berdasarkan kepada ruh ajaran Islam dan realita kehidupan manusia. Karennya dalam perjalanan sejarah manusia musik justeru biasa dipakai sebagai “jalan dakwah” dan juga hiburan pada konteks yang sesuai. Bukankah Rasulullah biasa mengajak isterinya melihat hiburan setelah lebaran dengan iringan gendang? Dari Rumi, hingga ke penyanyi Muslim masa kini seperti Sami Yusuf dan lain-lain, musik justeru menjadi alat dakwah.

Baca Juga:  Plt Gubernur Sulsel Gandeng PP IPMALUTIM Bagi-Bagi Alquran

Musik yang biasanya identik dengan “nyanyian” sebenarnya oleh Rasulullah dimaksudkan sebagai “suara yang indah” didengar. Ritme suara memiliki daya tarik (magnetic) yang kemudian berdampak secara positif para kejiwaan manusia. Dalam konteks inilah Rasulullah SAW menekankan pentingnya membaca Al-Qur’an dengan suara yang berseni (indah iramahnya). Hadits menyebutkan: “barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dengan suara yang indah (taghanna) maka dia bukan dariku” (hadits Abu Daud).

Sesungguhnya kata musik sendiri dalam bahasa Arab tidak ada. Kata “musik yang kemudian diArabkan menjadi “muusiiqa” berasal dari kata “Yunani”. Karenanya Arab tidak mengenal kata musik. Keindahan ritme suara oleh orang-orang Arab justeru diekspresikan dalam bentuk “syair-syair”. Hal ini yang kemudian menjadi nama salah satu surah dari AlQuran, sekaligus tantangan pertama Al-Quran kepada mereka. Karena Al-Quran hadir dengan gubahan ritme bahasa dan suara yang indah.

Saya tidak bermaksud membahas tentang musik kali ini. Biarlah itu jadi obyek perdebatan di kalangan ulama dan para ahli yang lebih mumpuni dan kredibel. Salah satunya yang saya kenal saat ini adalah Ustadz Adi Hidayat. Saya mengkategorikan beliau sebagai guru. Walau mungkin secara umur lebih mudah dari saya sendiri.

Baca Juga:  Berkunjung di Kelurahan KunjungMae, Camat Mariso : Dengan Seperti ini Kita Bisa Denger ki Keluhan Pj Ketua RT/RW

Justeru yang ingin saya ingatkan adalah pentingnya adab atau etika dalam berinteraksi dengan ilmu-ilmu keislaman. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan: adab itu harus hadir sebelum ilmu”. Di antara adab-adab keilmuan yang terpenting adalah “tawadhu’” (rendah hati). Termasuk di dalamnya tidak merasa lebih tahu dari orang lain. Sebab jika itu terjadi berarti telah terjadi pelanggaran keilmuan dan keislaman yang nyata dengan “kibriya” (keangkuhan).

Apalagi perasaan lebih tahu itu kemudian terpakai untuk menyalahkan pandangan orang lain. Saya katakan pandangan atau pendapat karena menterjemahkan kata “syu’ara” dengan musik tidak menambah dan mengurangi kata itu. Hanya mengungkapkan pendapat tentang makna atau artinya. Dan selama itu opini atau pendapat maka pastinya akan tetap dihargai salah sekalipun. Bukankah berijtihad dan salah masih tetap diganjar satu pahala?

Yang lebih runyam lagi adalah ketika apa yang dianggap kesalahan Saudara itu dikaitkan dengan suatu tuduhan yang besar (buhtaan adzim). Tuduhan kepada Ustadz Adi Hidayat sebagai “menghina Al-Quran” jelas dimaknai sebagai “kekufuran”. Dan ini sangat serius. Mengkafirkan seseorang yang beriman, bahkan benar kesalahannya sekalipun, tidak dibenarkan (haram). Lebih bahaya lagi tuduhan kufr itu tidak benar, maka yang terjatuh dalam kekafiran adalah sang penuduh.

Baca Juga:  Mahasiswa Dibanting, Polda Banten Belum Temukan Pelakunya

Saya hanya ingin mengingatkan kita semua agar lebih berhati-hati dalam mendengar, memahami, apalagi menyimpulkan pendapat orang lain. Bahkan ketika kesimpulan kita cenderung melihatnya sebagai hal yang “salah”, tutupi itu dengan “husnuz dzhonn” (perkiraan positif). Dia salah menurut saya. Tapi boleh jadi benar karena pemahaman saya tentang dia dan opininya juga sifatnya manusiawi. Bisa salah dan bisa benar. Maka pada akhirnya biarlah Allah yang menghakimi: “bukankah Allah adalah sebaik-baik Yang Menghakimi”.

Lebih dari itu kita sudah muak dengan perpecahan yang seringkali disebabkan oleh hal-hal yang tidak mendasar. Anggaplah Ustadz Adi Hidayat bersalah dalam hal ini. Tidakkah jauh lebih banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai “common ground” (pijakan bersama) dari berbagai pendapat beliau tentang agama ini. Bahkan tidakkah lebih layak diapresiasi dan dihargai ketimbang menyalahkan apalagi mengkafirkan?

Mari dewasa dalam perbedaan. Ukhuwah dan persatuan kita adalah mutiara yang hilang dari umat saat ini. Temukan kembali. Semoga!

New York City, 17 Mei 2024


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.