Berbagai pernyataan Trump ini membakar kemarahan bangsa Amerika di satu sisi dan menumbuhkan ketakutan (Phobia) di sisi lain. Apalagi kita diingatkan bahwa pada masanya Donald Trump mengeluarkan keputusan Presiden (Presidential decree) untuk melarang orang Islam masuk Amerika (dikenal dengan Muslims ban). Masa-masa itu adalah masa yang cukup sulit dan meresahkan, walau tidak menakutkan. Meresahkan karena terjadi suasana yang tidak bersahabat. Tapi bagi kami tidak menakutkan karena selain kami percaya Allah, juga kami masih percaya dengan hukum Amerika yang masih efektif (belum dikadali oleh penguasa seperti di tempat lain).
Pengaruh politik dalam menumbuhkan Islamophobia ini sangat besar. Saya kembali teringat proyek masjid yang akan kita bangun dekat Ground Zero. Masjid itu terletak dua blok jaraknya dari Ground Zero (bekas gedung WTC yang runtuh di tahun 2001). Rencana pendirian Masjid ini dipergunakan oleh seorang calon Gubernur New York dari Partai Republican bernama Rick Lazio. Dialah yang mengkampanyekan jika Masjid ini akan dibangun sebagai simbol kemenangan Islam melawan Amerika. Akibatnya 70 persen penduduk kota New York menentang pendirian Masjid itu.
Untungnya Waikota New York ketika itu, Michel Bloomberg, seorang Yahudi dan billionaire, konsisten mendukungnya. Dalam sebuah kesempatan acara buka puasa di kediaman Waikota saya duduk satu meja dengan beliau. Saya tanyakan beliau yang mendukung proyek masjjd itu. “Anda adalah Yahudi, Walikota New York yang warganya 70 persen menetang. Kenapa mendukung proyek pembangunan masjid itu!”, tanya saya.
Jawaban beliau mengejutkan saya: “saya tidak mendukung proyek masjid, bukan juga mendukung Komunitas Muslim. Tapi saya mempertahankan Konstitusi negara saya yang menjamin kebebasan beragama”.
Jawaban beliau ini menjadikan saya terkagum dengan beliau. Sekaligus menguatkan hati saya bahwa hukum (Konstitusi) di Amerika masih efektif. Hukum tidak dimainkan sesuai kecenderungan hawa nafsu penguasa. Bahkan penguasa harus tunduk kepada hukum yang telah disepakati bersama.
Islamophobia juga tumbuh di tingkat Pemerintahan federal (pusat) karena kepentingan politik ini. Satu contoh yang sering saya sampaikan adalah bagaimana Newt Gingrich, mantan Speaker atau Ketua DPR (Congress), sewaktu berkampanye untuk menjadi kandidat presiden dari Partai Republikan. Salah satu yang sering dia sebutkan di mana-mana adalah “bahaya Shariah Law”. Anti hukum atau aturan Islam yang dianggap bertentangan bahkan membahayakan negara Amerika menjadi salah satu tema kampanyenya.
Sikap Gingrich ini sangat antitesis dengan kenyataan yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya dialah yang pertama kali memberikan izin kepada pegawai Muslim di Senate dan Kongress (Capitol Hill) untuk mengadakan jumatan (Friday prayer) di gedung Capitol Hill (gendung Kongress AS). Jumatan adalah praktek hukum Islam yang mendasar. Tapi ketika kampanye hukum Islam dianggap bertentangan dengan Konstitusi bahkan membahayakan Amerika.
Kini pilpres AS kembali memanas. Ada dua kandidat yang bertarung. Kamala Harris dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republikan. Saya tidak tertarik membahas kebijakan luar negeri mereka. Karena AS siapapun Presidennya jika sudah menyangkut kebijakan luar negeri sama saja. Baik dari Partai Demokrat maupun Republican sama-sama syetan (evil).
Akan tetapi jika merujuk kepada kebijakan domestik kami masih diuntungkan oleh Partai Demokrat. Bukan secara nilai (value moral). Karena Demokrat adalah Partai liberal yang mendukung banyak hal yang secara moral keagamaan tidak kita terima. Tapi minimal mereka memberikan ruang untuk komunitas Muslim bernafas dan bergerak. Inilah yang kita tangkap sebagai peluang untuk bermanuver melakukan “gerakan perubahan” untuk perbaikan (islaah).
Dan karenanya dengan segala keburukan yang ada di Partai Demokrat dan Kamala Harris, kali ini nampaknya Komunitas Muslim akan cenderung memilihnya. Ada suara-suara yang menyerukan “boikot total” pilpres. Tapi saya pribadi menyerukan untuk mengambil bagian minimal sebagai ikhtiar agar “the big evil” tidak menang dan kembali dengan kebijakan dan karakter yang ugal-ugalan. Ancaman Trump jelas. Walaupun kali ini yang diancam secara langsung adalah “imigran”. Namun kita sadar bahwa kata imigran itu mencakup Komunitas Muslim yang masih diidentikkan sebagai pendatang.
Poinnya adalah Islamophobia kembali menggeliat karena pilpres US yang sedang memanas. Tapi kali ini lebih runyam lagi karena faktor Gaza justeru dianggap membahayakan Amerika. Banyak politisi yang membalik realita seolah karena peristiwa Gaza Amerika terancam oleh Komunitas Muslim dan Arab. Mereka membalik fakta yang sesungguhnya. Puluhan ribu nyawa rakyat sipil, khususnya anak-anak dan wanita melayang. Tapi mereka membangun persepsi seolah komunitas Muslim dan Arab yang menjadi ancaman.
Itulah realita yang pahit. Tapi sayangnya umat seringkali menjadi apatis dan tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah ini akan terus berlanjut? Wallahu a’lam!
Makassar City, 13 2024
*Putra Kajang di Kota New York.
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.