Peristiwa Isra’ dan Mi’raj memang sebuah peristiwa yang penuh dengan kemukjizatan. Karena peristiwa ini memang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan dan kemenangan “morale” kepada Rasulullah di tengah tantangan berat yang dihadapinya. Pemboikotan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah) yang juga berujung pada wafatnya isteri dan paman tercinta menjadikan Rasulullah semakin tertekan dan tersudutkan dalam pergerakan dakwahnya. Bahkan ikhtiar untuk mendakwahkan agama ini ke Thaif juga berakhir dengan tantangan yang luar biasa.
Semua itu menjadikan situasi begitu berat dan menyedihkan bagi beliau. Maka tahun itu juga beliau sebutkan sebagai tahun kesedihan (‘aamul huzni). Kesediaan karena wafatnya dua pendukung utama beliau; Khadijah RA dari kalangan mereka yang beriman dan Abu Talib dari kalangan mereka yang kafir. Meninggalnya isteri dan paman tercinta beliau menjadikan musuh-musuh semakin leluasa untuk melakukan berbagai hal yang hampir saja menghabisi Rasulullah, baik secara misi bahkan hidupnya.
Kebangkitan Islam secara individual
Merujuk kepada latar belakang peristiwa Isra’ Mi’raj kita bisa memahami bahwa perjalanan ini merupakan “spirit boost” (penguatan semangat) untuk Rasulullah SAW. Sekaligus dipahami sebagai pilar kebangkitan Islam pada tataran individual. Kebangkitan Islam pada tataran individual ditandai dengan soliditas relasi dengan Pencipta alam semesta. Bagi Rasulullah hal ini melalui peristiwa Mi’raj langsung. Dan bagi umatnya melalui sholat yang ditetapkan sebagai mi’rajnya. Sebagaimana sabda Rasul: “sholat ada Mi’raj orang yang beriman”.
Melihat realita umat saat ini rasanya peristiwa Isra’ Mi’raj ini menjadi sangat relevan. Bahwa berbagai tantangan dan kesulitan yang dahsyat yang dihadapi oleh umat saat ini boleh saja justeru merupakan awal kebangkitan yang ditunggu-tunggu itu. Berbagai penderitaan dan kesulitan yang menerpa umat Muhammad SAW, baik di negara-negara di mana mereka sebagai minoritas maupun di negara-negara di mana mereka sebagai mayoritas, rasanya telah sampai pada puncaknya (it’s pinnacle).
Kekejaman pemerintahan Komunis kepada masyarakat Muslim Uighur di Xingjian, pembantaian dan pengusiran saudara-Saudara Muslim Rohingyah di Burma, kezholiman kepada Saudara-saudara Muslim kita di India dan Kashmir, dan tentunya masyarakat Muslim minoritas dengan segala “oportunitas” yang ada di negara-negara Barat, masih juga menghadapi berbagai kesulitan akibat Islamophobia yang masih tinggi.
Tentu terkhusus lagi dalam tahun-tahun terakhir penderitaan Saudara-saudara kita yang berkepanjangan di Timur Tengah, khususnya di Bumi Syam, rasanya telah sampai pada titik nadir di luar daya manusia normal memahaminya. Lima puluh tahun lebih masyarakat Suriah berada di bawah kungkungan kekuasaan zholim Al-Asad. Namun pada akhirnya di akhir terowongan panjang itu mentari kini mulai menampakkan diri dengan cahayanya yang bersinar.
Mungkin realita yang paling menyedihkan dan menyakitkan adalah penderitaan dan kezholiman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina, baik di Gaza maupun di Ramallah. Saya tidak perlu lagi mengulangi penderitaan dan keperihan yang mereka alami. Tidak saja dalam hampir dua tahun terakhir. Mereka telah mengalami ini lebih dari 75 tahun. Tapi mereka tegar kokoh bagaikan karang di tengah laut menghadapi kezholiman penjajah Zionis Israel. Kesabaran dan kekuatan mereka kini mulai menampakkan titik-titik cahaya harapan. Kalaupun mereka diluluh lantakkan di negara mereka, namun mereka tidak pernah melemah. Semakin terasa kemenangan itu baik secara domestik, apalagi pada tataran global.
Karenanya dengan memperingati Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW ini kita semakin optimis dengan janji Allah bahwa “sesungguhnya kemenangan itu dekat” dan rasanya semakin mengkristal. Dan pastinya keimanan kita memastikan bahwa: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janjiNya”.
Dilemanya memang bukan pada musuh-musuh Islam. Tapi pada kita yang mengaku Muslim. Mengaku Muslim tapi kehilangan jati diri dan “izzah” (kemuliaan) dalam menghadapi musuh-musuh itu. Umat mengalami “inferioritas kompleks” yang parah. Merasa takut dan kalah tanpa ditakuti dan dikalahkan oleh siapapun. Melemah seolah tak berdaya melakukan hal seharusnya dilakukan untuk memenangkan umat ini.
Secara teologis memang kita yakin bahwa musuh-musuh itu pasti akan selalu ada. Itu adalah sunnatullah dalam perjalanan keimanan umat ini. Dan itu bukan hal yang mengagetkan dan menakutkan. Yang mengagetkan dan menakutkan adalah ketika umat ini kehilangan pegangan (al-‘urwatul wutsqa). Menjadikan mereka minder, tidak punya prinsip dan rela didikte dan diarahkan bagaikan buih di tengah hempasan ombak di tengah samudra luas.
It’s the time to change!..bersambung!
New York City, 27 January 2025
Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.