Kurangngi Emisi , Indonesia Dorong Pbayaran Berbasis Hasil/Result Based Payment (RBP)

oleh -
oleh

Madrid.Spanyol.Mitrasulawesi.com –Indonesia telah menetapkan semua instrumen yang diminta oleh Artikel 5 Paris Agreement. Pemenuhan prasyarat itu menjadi strategi menurunkan emisi karbon melalui pelestarian hutan yang mensejahterakan masyarakat. Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri LHK, Alue Dohong pada High Level Meeting on Forests dengan tema “Enhancing the Role of Forests in Nature-based Solutions”.

Sesuai dengan Artikel 5 Paris Agreement, semua negara diminta untuk menerapkan pengurangan emisi dan degradasi hutan, meningkatkan peran konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang. Penerapan tersebut harus oleh Indonesia diwujudkan dengan penetapan secara nasional instrumen-instrumen yang mencakup Strategi Nasional, Sistem Pemantauan Hutan Nasional, Referensi Tingkat Emisi, Pendorong deforestasi dan degradasi hutan, Safeguard dan Sistem Informasi Safeguard, Measuring Reporting and Verification (MRV) dan Dukungan Keuangan.

“Indonesian telah melakukan kebijakan yang menentukan dalam mengatasi hal-hal negatif dampak perubahan iklim dan dalam berkontribusi pada tujuan global jangka panjang 1,5 derajat, seperti menjaga keseimbangan pembangunan ekonomi dan sosial, Indonesia telah berkomitmen untuk mengarusutamakan Strategi Pembangunan Rendah Karbon Jangka Panjang ke dalam strategi Rencana Pengembangan Jangka Menengah Nasional,” urai Wamen Alue.

Strategi utama yang ditempuh untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan adalah dengan mengurangi penggundulan hutan. Rata-rata deforestasi tahunan dari 1990 hingga 2012 adalah 0,92 juta ha. Dari 2012 hingga 2014, laju deforestasi turun menjadi 0,57 juta ha, bersama dengan penurunan insiden kebakaran hutan dan lahan. Kemudian semalat terjadi kenaikan pada 2014 hingga 2015 menjadi 1,09 juta ha, terutama disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015. Pada 2015 hingga 2016 deforestasi kembalturun menjadi 0,63 juta ha, kemudian 0,48 juta ha pada 2016 hingga 2017, dan selanjutnya turun menjadi 0,44 juta ha pada 2017 hingga 2018.

Baca Juga:  Selama Hari Raya Idul Fitri, PLN Siagakan 2.445 Personil

Selanjutnya Wamen Alue juga menjelaskan upaya Indonesia melakukan corrective Action dalam rangka meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memenuhi target pengurangan emisi Indonesia. Beberapa cara uang ditempuh adalah, menerapkan pendekatan baru dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan melalui pengendalian karhutla dengan segala upaya yang mungkin termasuk waterbombing, pembasahan kembali lahan gambut, dan canal blocking.

Kemudian dengan melakukan penegakan hukum yang melibatkan sanksi administratif, hukum perdata dan hukum pidana. Lalu mempromosikan pencegahan melalui pengelolaan lahan gambut berkelanjutan serta mengatur bahwa lahan yang terbakar di dalam konsesi swasta harus dikontrol oleh pemerintah. “Ini kebijakan yang tegas sejak jaman Pemerintahan Presiden Jokowi,” imbuh Wamen Alue.

Selanjutnya Wamen juga menjelaskan jika sejak tahun 2010 hingga saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan moratorium pemberian ijin baru pada areal hutan gambut dan hutan primer. Kebijakan ini dibil untuk menurunkan angka deforestation hutan serta memperbaiki tata kelola kehutanan.

Lebih jauh Wamen Alue juga menjelaskan jika Presiden Jokowi mendorong pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dengan program reforma agraria dan perhutanan sosial, masyarakat akan mendapatkan akses ataupun aset untuk dapat memanfaatkan lahan hutan demi peningkatan kesejahteraan.

Baca Juga:  Tabrakan di Laut, Nelayan Pangkep Tewas

“Pemerintah Indonesia memberikan kerangka hukum untuk menyelesaikan konflik tenurial di antara masyarakat atau antara komunitas dan perusahaan serta antara komunitas dengan pemerintah melalui kebijakan alokasi lahan dalam bentuk reformasi agraria dan program kehutanan sosial,” jelas Wamen.

Melalui Program Reforma Agraria tersebut terjadi banyak perubahan dalam kepemilikan dan akses lahan di Indonesia. Jika hingga tahun 2014, data menunjukkan bahwa 98,53% alokasi lahan hutan untuk swasta perusahaan yang memiliki konsesi dan hanya 1,35% untuk masyarakat. Maka sejak tahun 2015-2019 angkanya berubah secara signifikan dimana masyarakat telah mendapatkan alokasi lahan mencapai 13,8% (5,8 juta ha) melalui reformasi agraria dari lahan hutan (2,4 juta ha) dan kehutanan sosial (3,4 juta ha). Target Reforma Agraria akan mencakup 4,1 juta ha dan Perhutanan Sosial mencakup 12,7 juta ha lahan.

Lebih jauh Pemerintah Indonesia dikatakan Wamen Alue saat ini semakin memperhatikan keberadaan masyarakat adat. Pada bulan Desember 2016, Pemerintah telah secara resmi mengakui masyarakat adat dengan memberikan akses legal hutan ke wilayah mereka untuk pertama kalinya sejak Indonesia Medeka. Data hingga Mei 2019 menunjukkan bahwa ada 472.000 hutan adat itu telah diidentifikasi untuk kemudia akan diakui seluas mencapai 6,3 juta ha.

Baca Juga:  Pasien Corona di Gowa 504 Positif, Ketua IDI Angkat Bicara

Indonesian juga terus mendorong mekanisme Pembayaran Berbasis Hasil/Result Based Payment (RBP) untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Beberapa yang telah berlangsung adalah melalui: (1) LoI dengan Pemerintah Norwegia; (2) Dana Karbon FCPF di Provinsi Kalimantan Timur; dan (3) Dana BioCarbon Inisiatif untuk Lanskap Hutan Berkelanjutan (IFSL) di Provinsi Jambi, serta mengembangkan dan menerapkan kebijakan fiskal terkait iklim dan mengeluarkan inovasi instrumen pembiayaan, seperti climate budget tagging, green bonds and green
sukuk.

Yang terbaru terkait kebijakan yang mendukung pembiayaan perlindung lingkungan melalui peresmian Badan Layanan Umum Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Badan ini berfungsi untuk memfasilitasi pendanaan iklim seperti mengelola pendanaan untuk menanggulangi pencemaran lingkungan dan pengendalian kerusakan, perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi alam serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

High Level Meeting on Forests dengan tema “Enhancing the Role of Forests in Nature-based Solutions” ini juga menghadirkan pembicara lain, seperti: Mario Boccucci (Head, UN-REDD), Javier Manzanares (Deputy Executive Secretary, Green Climate Fund), Laura Tuck (Vice-President Sustainable Development, World Bank), Tiina Vähänen (Head of Forest Policy and Resources, FAO), Carol Saint-Laurent (Deputy Head, Global Practice in Forests and Climate, IUCN) . Moderator acara ini adalah Peter Saile, Senior Advisor in Forests. Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ), Germany. (*)

Tinggalkan Balasan