Opini: Pencetus Organisasi DDI

oleh -
Penulis, Mahasiswa STAI DDI Sidrap, Nurhalisa RN

AG KH Abdur Rahman Ambo Dalle

Ambo Dalle merupakan seorang ulama dari Tanah Bugis yang dikenal sebagai pendiri organisasi massa Islam bernama Darud Da’wah wal Irsyad (DDI). Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan di Kabupaten Wajo pada sekitar tahun 1900. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya adalah Andi Candara Dewi.

Nama Ambo Dalle yang diberikan oleh kedua orang tuanya memiliki makna “bapak yang punya banyak rezeki”. Oleh masyarakat Bugis, ia dipanggil Gurutta Ambo Dalle. Secara harfiah, Gurutta berarti mahaguru, yang merupakan gelar kehormatan bagi kaum ulama di Sulawesi Selatan. Sedangkan nama Abdurrahman Ambo Dalle diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, karena ia sudah dapat menghapal Alquran di usia tujuh tahun.

Terlahir sebagai anak tunggal, sejak kecil ia dilatih untuk mandiri dan disiplin, terutama dalam hal agamanya. Pendidikan Sewaktu kecil, Ambo Dalle bersekolah di Volk School atau Sekolah Rakyat pada pagi hari. Kemudian di sore harinya, ia pergi belajar mengaji.

Selain memelajari ilmu Alquran seperti tajwid, hadis, tafsir, nahwu, sharaf, dan fikih, ia juga mengikuti kursus bahasa Belanda. Pada 1928, ketika seorang ulama Bugis bernama H Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy kembali ke Indonesia dari Mekkah, ia segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar itu. Berkat kepiawaiannya itu, ia diangkat sebagai asisten. Menjadi pimpinan madrasah Sejak menjabat sebagai asisten, Ambo Dalle mulai menjajaki karier mengajar dan terus menekuni dunia pendidikan Islam.

Pada 1935, ia pergi ke Tanah Suci Mekah dalam rangka menunaikan ibadah haji dan menetap di sana selama beberapa bulan untuk mendalami ilmu agamanya. Sejak saat itu, Ambo Dalle semakin intens bergerak di bidang keagamaan. Sementara itu, Muhammad As’ad meningkatkan sistem sorogan menjadi madrasah.

Karya dan penghargaan Ambo Dalle banyak mengurai berbagai masalah ilmu agama, seperti akidah, syariah, akhlak, dan masih banyak lainnya di dalam karya-karya tulisnya. Sepanjang hidupnya, ia diperkirakan telah menyusun setidaknya 25 judul buku tentang Islam. Atas peran dan perjuangannya selama hampir satu abad, Ambo Dalle mendapatkan sejumlah penghargaan, berikut di antaranya.

Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai Tokoh Pendidik Bidang Agama Se-Indonesia Timur pada 1986.

Penghargaan dari pemerintah daerah tingkat II Kabupaten Wajo sebagai Putra Daerah Berprestasi pada 1998.

Tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya dari presiden BJ. Habibie pada 1999

AG H Abduh Pabbajah

AGH Muhammad Abduh Pabbajah (1908 – 2009) Salah seorang pendiri Darud Da’wah Wal Irsuad, sekretaris pertama Pengurus Besar DDI. Dan Pemimpin Pesantren DDI Al Furqan Parepare. Hidupnya didedikasikan untuk membangun negara dan agama Islam. Sebagai seorang ulama terkemuka, ia dikenal sebagai figur yang sangat ikhlas menuntun umat. Pendiriannya begitu kuat dalam menentang segala pergeseran akidah yang tejadi di tengah-tengah masyarakat.

Kiai Pabbaja lahir di Allakuang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada 20 Muharram 1336 H atau 26 Oktober 1918. Beliau lahir dari keluarga terpandang dan taat beragama. Ayahnya bernama Pabbaja bin Ambo Padde, seorang kepala wilayah di desa kelahirannya. Ibunya bernama Hj Latifah binti Kalando, putri seorang imam atau penghulu syarak di desa itu. Kiai Pabbaja adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara.

Pada saat kecil, kawan-kawannya memanggilnya Mamma. Setelah menjadi ulama terkemuka, umat Islam memanggilnya Kiai Pabbaja. Sebagai ulama Bugis Makassar, beliau dikenal dengan julukan Gurutta Pabbaja. Gurutta adalah gelar penghormatan untuk seorang ulama di wilayah Bugis Makassar. Mamma, begitu ia akrab dipanggil saat kecil, mulai mempelajari ilmu agama sejak kecil.

Ia belajar membaca Alquran dari ibunya. Menginjak usia enam tahun, Mamma menempuh studi di Sekolah Desa (Volksschool). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke madrasah Makarim Al-Akhlaq hingga tamat. Kemudian, Pabbaja menimba ilmu di madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah di Kabupaten Wajo yang dipimpin KH Muhammad As’ad.

Pada zaman itu, Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, secara khusus mendatangkan Syekh Ahmad Al-Hafifi, ulama dari Al-Azhar Kairo, Mesir dan Syekh Sulaiman As-Su’ud dari Makkah untuk mengajar para santri. Di madrasah itu pula Pabbaja mempelajari dan mengkaji berbagai cabang ilmu Islam selama 7 tahun Di antara ilmu keislaman yang dipelajarinya, Kiai Pabbaja lebih menyukai Ilmu Tafsir. Tak heran jika beliau dikenal sebagai ulama ahli tafsir yang fasih dan lancar berbahasa Arab. Sebagaimana ungkapan beliau yang penulis dapatkan di refrensi lain.

Baca Juga:  Hadiri Pesta Rakyat di Kelurahan Tello Baru, Camat Panakkukang Beri Motivasi Warga

‘’Penafsiran Alquran hendaknya disesuaikan dengan ilmu pengetahun modern tanpa meninggalkan prinsip yang harus digunakan dalam menafsirkan Alquran,’’ ujar Kiai Pabbaja

Almarhum KH AG Muhammad Abduh Pabbaja diyakini oleh sebagian besar masyarakat sebagai ulama kharismatik generasi terakhir yang dimiliki Sulawesi Selatan setelah (alm) AGH Abdur Rahman Ambo Dalle, (alm) AGH Yunus Martan dan (alm) AGH Daud Ismail. Menurut sejumlah keluarga Almarhum, ulama sepuh ini menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di kompleks Perumahan Lapadde Mas, Parepare, Kamis, sekitar pukul 10.00 wita.

Kondisi kesehatan Imam Besar Masjid Agung Kota Parepare itu selama ini memang menurun. Sejak Februari 2009 lalu, almarhum tidak pernah lagi ke Masjid Agung. Gurutta Pabbajah, meninggal dunia pada usia 94 tahun menurut perhitungan Hijriyah, atau 90 tahun pada penanggalan Masehi. Beliau lahir di Allakuang, pada 20 Muharram 1336 H, atau 26 Oktober 1918.

AG Haji Daud Ismail

Salah satu di antara para pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis yang digelarai Anregurutta ini adalah Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail. Sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Darud Da’wa Wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya.

Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis. Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M, buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola.

Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di Sengkang.

Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama Sengkang. Selama belajar di Sengkang Daud Ismail merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arudh, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh Daud Ismail karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang didapatkan sebelumnya. Setelah belajar langsung kepada Anregurutta As`ad di Sengkang, Daud Ismail kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada Anregurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah.

Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta (panggilan kehormatan setingkat di bawah Anregurutta) Daud Ismail. Sepeninggal Anregurutta As‘ad (1952 M), Anregurutta Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) untuk datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh Anregurutta Muhammad As‘ad. Pada tahun 1953 nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diubah pada tahun 1953 menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anregurutta M. As‘ad.

Kembali ke Sengkang merupakan wasiat dari Anregurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismail harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, Anregurutta tetap memenuhi wasiat gurunya tersebut. Namun. Anregurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya.

Setelah meninggalkan Sengkang pada tahun 1961, Anregurutta Daud Ismail kembali ke Soppeng. Ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini Anregurutta Daud ismail juga diangkat kembali menjadi Qadhi (untuk kedua kalinya) di Soppeng. Anregurutta Daud Ismail menghadap ke hadirat Allah SWT dalam usia 99 tahun pada Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Anregurutta Daud Ismail masih menjabat sebagai Kadhi di Kabupaten Soppeng. Selain itu amanah yang masih disandangnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005.

Baca Juga:  Hari Ke 4, Satgas PU Makassar Sentuh Drainase Jalan Antang Raya

Prof. Dr. KH. Ali Yafie

Prof. K.H. Ali Yafie merupakan ulama kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, pada tanggal 1 September 1926. Beliau adalah seorang ulama yang ahli dalam ilmu Fiqh atau hukum Islam. Beliau adalah pengasuh di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad, Pare-pere, Sulawesi selatan, yang memiliki penampilan lembut, ramah,dan bijak tetapi tegas dan konsisten dalam memegang hukum-hukum Islam.

Ayah beliau, Mohammad Yafie, telah mendidik Ali Yafie tentang agama sejak beliau masih kecil dan memasukkan beliau ke pesantren. Sang ayah ingin anaknya memiliki banyak ilmu dari berbagai pengetahuan, terutama dari segi agama. Ali Yafie sendiri diharapkan mendapat banyak pelajaran agama dari berbagai ulama, termasuk ulama yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia, yang bernama Syekh Muhammad Firdaus.

Cara mendidik sang ayah kemudian diturunkan kepada keturunan dan para santri di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad, agar mereka mendapat banyak pengetahuan tentang ilmu agama sejak kecil. Dalam perjalanan karir beliau, Ali Yafie pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjabat sebagai Dewan Penasehat Ikatan Muslim Indonesia (ICMI) serta Dewan Penasehat The Habibie Centre.

Sejak tahun 1966 hingga 1972, beliau menjabat Dekan Fakultas Ushuludin IAIN Alauiddin, Makasar, serta mendirikan pesantren di tahun 1947. Orang terkemuka seperti mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, Alwi Shihab, dan Umar Shihab adalah para santri lulusan pondok pesantren yang beliau dirikan. Ali Yafie juga pernah menjadi anggota DPR/MPR sejak tahun 1971 hingga 1987. Ali Yafie adalah seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki pola pikir modern dan tidak terlalu tradisional serta rajin dalam menulis buku. Beliau selalu mengedepankan Ukhuwah Islamiyah tanpa membeda-bedakan umat Islam dari berbagai golongan.

Beliau adalah ulama yang diterima baik di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama. Ali Yafie menikahi seorang gadis yang bernama Aisyah ketika berusia 19 tahun, sedangkan Aisyah sendiri masih berusia 16 tahun. Selama pernikahan, beliau mendapati kehidupan yang bahagia dan dikaruniai empat orang anak, Saiful, Hilmy, Azmy, dan Badru. Pendidikan Menempuh pendidikan di Madrasah As’adiyah di Sengkang, Sulawesi Selatan. Karir Rektor IAIN Ujung Pandang (1966-1972) Rais Aam PBNU (1991-1992) Ketua MUI (1990-2000) Dewan Penasehat Ikatan Muslim Indonesia (ICMI) Dewan Penasehat The Habibie Centre Penghargaan Bintang Maha Putra Bintang Satya Lencana Pembangunan.

A.G. KH Muhammad As’ad

Syeikh Muhammad As’ad biasa juga disebut Kiai Haji Muhammad As’ad, tetapi di Sengkang-Wajo orang menyapanya Anre Gurutta Puang Haji Sade’. Lahir di Mekah, Arab Saudi pada tahun 1907 Masehi dan meninggal dunia pada hari Senin, 12 Rabiul Akhir 1372 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Desember 1952 Masehi di Kota Sengkang, Ibukota Kabupaten Wajo provinsi Sulawesi Selatan.

Ayahnya adalah seorang ulama bernama Kiai Haji Abdul Rasyid, sedang ibunya bernama Sitti Shalehah, juga putri seorang ulama bernama Guru Terru. Dengan demikian, AG KH. Muhammad As’ad dari segi geneologisnya tampaknya ia memang berdarah ulama.

AG KH. Muhammad As’ad adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Nama-nama mereka bersaudara dapat disebutkan, yaitu: Sitti Syamsiyah, Sitti Aisyah, Muhammad Said, Sitti Abbasiyah, Sitti Zen I, Muhammad As’ad I, Sitti Zen II, Muhammad As’ad II, dan Muhammad Sa’ad. Kelihatannya Muhammad As’ad II yang disebut kedua terakhir yang menjadi objek pembicaraan di sini, sebab saudaranya yang bernama Muhammad As’ad I meninggal dunia sewaktu masih kecil, sebagaimana halnya Sitti Zen I. Selain belajar pada Madrasah al-Falah, AG KH. Muhammad As’ad juga aktif mengikuti pengajian-pengajian dari ulama-ulama besar yang memberikan pelajaran di Masjidil Haram. Ia termasuk orang yang cerdas dan memiliki otak yang tajam. Bukti ketajaman otaknya ditunjukkan oleh kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak masih berusia 14 tahun di bawah bimbingan ayahnya sendiri.

Baca Juga:  Komiter Jaringan Aktivis Mahasiswa Gelar Aksi Dugaan Korupsi Dana Sewa Los

Selain itu, beberapa orang gurunya, yaitu: Syeikh Umar Hamdani, Syeikh Said al-Yamani, Syeikh Hasyim Nadhirin, Syeikh Jamal al-Malikiy, Syeikh Hasan Yamani, Syeikh Hasan Abdul Jabbar, Syeikh Ambo Wellang al-Bugisiy, dan pada salah seorang ulama besar di Madinah yang bernama Sayid Ahmad Syarif al-Sanusi. Sebagai seorang ulama yang bergerak di bidang pendidikan Islam, AG KH. Muhammad As’ad mempunyai sejumlah murid yang kemudian juga menjadi ulama kenamaan dalam abad ke-20 M, di Sulawesi Selatan. Di antara murid-muridnya yang sangat terkenal, yaitu: K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, K.H. Daud Ismail, K.H. M. Yunus Maratan, dan sejumlah ulama lainnya.

Muridnya yang disebut pertama adalah pendiri Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) pada tahun 1947 M, sedang kedua orang muridnya yang disebut terakhir turut membina dan mengembangkan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang telah didirikan pada tahun 1929 M.

KH. Junaid Sulaeman

Anregurutta Junaid Sulaeman atau KH Junaid Sulaeman (dikenal sebagai Pung Aji Junaide atau Gurutta Junaide), lahir dengan nama Muhammad Junaid di Watampone, Bone 1921, dan meninggal di Makassar 1996. Ia adalah seorang ulama besar, penyair arab, aktifis pendidikan dan sosial. Ia pernah menjadi ketua MUI daerah Bone dan ketua MUI Sulawesi Selatan. Ia juga pernah menjadi anggota DPR/MPR RI.

Tidak kurang dari tiga dekade, Gurutta menjadi Imam Masjid Raya Watampone. Gurutta mendirikan Yayasan Syiar Islam (YASLAM), Panti Asuhan Zubaidi, dan Pesantren Ma’had Hadits Biru. Gurutta menulis catatan harian terpanjang (37 volume) dalam bahasa Arab dan ditulis dalam jangka waktu terlama, empat puluh tahun (1956-96). Magnum opus itu berisi puisi Arab klasik (rajaz), wirid, catatan aktivitas dan perjalanan, foto, dan guntingan berita berbahasa Indonesia maupun berita berbahasa Arab. Terdapat sedikit catatan dalam aksara Bugis dan Indonesia. Profesor Najmuddin AS menaksir puisi Gurutta mencapai enam puluh ribu (60.000) bait.

Gurutta terjatuh pada rakaat kedua Subuh di Masjid Raya Watampone, dilarikan ke RS Faisal Makassar, dan wafat pada 1996. Gurutta dimakamkan di Watampone. Namanya kemudian diabadikan untuk Ma’had Hadits; menjadi Pesantren Al-Junaidiyah.

Abd. Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)

AGH. Abd. Muin Yusuf yang populer disapa Kali Sidenreng, lahir di Rappang, 21 Mei 1920 dari pasangan Muhammad Yusuf asal Pammana Wajo dan Ibunya bernama Hatijah asal Rappang. Gurutta Kali Sidenreng adalah anak ketiga dari 10 bersaudara, dan memiliki 9 orang anak. Ketika memasuki usia 7 tahun Gurutta mulai belajar mengaji kepada salah seorang guru mengaji kampung (Kyai Kampung), bernama H. Patang. Kemudian masuk lagi sekolah umum di Insladsche School (sekolah pagi). Ketika sore, ia belajar agama di sekolah Ainur Rafieq.

Lahir dari keluarga agamawan, bangsawan dan pedagang membuatnya terus dimotovasi untuk belajar ilmu agama oleh keluarga dekatnya. Sebab secara finansial, kedua orang tua Gurutta cukup mapan. Karenanya, ia terus didorong untuk memperdalam ilmu agama.

Ditahun 1934, Gurutta melanjutkan pengembaraan ilmunya di Sengkang dibawah bimbingan Almukarram AGH. Muhammad As’ad al Bugis. Disana, Gurutta berjumpa dengan sejumlah santri yang kelak menjadi ulama besar pula, sebutlah diantaranya; AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle, AGH. Junaid Sulaiman, AGH. Daud Ismail, AGH. Abduh Pabbajah, AGH. M. Yunus Maratang, dll. Anregurutta Kali Sidenreng dikenal sebagai sosok ulama yang ramah dan sangat sederhana. Hidupnya hanya dipenuhi dengan pengabdianya kepada agama dan bangsa. Beliau bahkan menolak pemberian mobil pribadi saat beliau menjabat sebagai Pembina Golkar, dan mobil dinas selaku Ketua MUI Sulsel dua periode

 

Penulis

Nurhalisa RN


Eksplorasi konten lain dari Mitra Sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan