Meriam Polong, Saksi Pertempuran Makassar Melawan Penjajah

oleh -
Meriam Polong, yang juga andalan pasukan Makassar saat melawan panjajah.

Makassar, mitrasulawesi.id — Kebesaran kerajaan Gowa/Tallo yang terus melawan panjajah, membuat beberapa benda menjadi saksi bisu atas kerasnya Medan pertempuran.

Meriam adalah sejenis artileri, yang umumnya berukuran besar dan berbentuk tabung, yang menggunakan bubuk mesiu atau bahan pendorong lainnya untuk menembakkan proyektil.

Meriam memiliki bermacam-macam ukuran kaliber, jangkauan, sudut tembak, dan daya tembak. Lebih dari satu jenis meriam umumnya digunakan dalam medan pertempuran.

Pertempuran menggunakan artileri mesiu yang pertama kali didokumentasikan terjadi pada 28 Januari 1132, ketika Jenderal Dinasti Song, Han Shizhong, menggunakan Huochong untuk merebut sebuah kota di Fujian. Ilustrasi meriam pertama diperkirakan dibuat pada 1326.[7] Pada 1341, dalam puisi yang ditulis oleh Xian Zhang berjudul Masalah Meriam Besi, tertulis bahwa bola meriam yang ditembakkan dapat menembus jantung atau perut manusia atau kuda, bahkan dapat menembus lebih dari satu orang sekaligus.

Baca Juga:  Dialog HMI di Banjiri Kader, Narasumber Ingkar Janji

Seperti Meriam Polong, di Benteng Somba Opu, jl. Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, yang menjadi situs sejarah dan keperkasaan peperangan melawan penjajah. Meriam ini andalan kerajaan Gowa, yngg di beri nama anak Makassar, yang hingga saat ini menjadi sebuah kebanggaan buat masyarakat Gowa dan sekitarnya.

Meriam Polong adalah andalan kerajaan Gowa, yang di beri nama anak Makassar.

Dari penelusuran media Meriam berukuran 2 meter lebih ini, terdapat beberapa benda berbentuk lelehan lilin, yang berada di atasnya sehingga pewarta sedikit penasaran akan bendah merah tersebut.

Salah seorang warga pun memberikan penjelasan terkait adanya lelehan lilin di atas meriam tersebut.

Baca Juga:  Musrifah Basli Hadiri Pelantikan 34 Ketua TP. PKK Desa

“Sedikit ini kalau kita yang dari Tallo lama keluarga Tata Makka kita nama kan meriam Polong, sejarahnya nenek moyang kami, karena sudah terlalu tua maka meminta kepada anak cucu nya untuk di buat kan gubuk-gubuk untuk ditempat di pesisir Je’ne Berang, sekitar posisi meriam Polong tersebut.
Akhir keluarga memutuskan pada saat itu untuk mengikuti kemauannya.
Jadi berselang beberapa waktu diantarkan sarapan pagi ke tempat beliau, di pagi hari masih ada sepasang boe kami kemudian di siang hari diantar kan kembali sudah tidak ada lagi, dan diketemukan bekas merangkak yang bergerak turun ke dasar laut, beberapa malam kemudian beberapa keturunannya diberi petunjuk lewat mimpi kalau mau siarah kebeliau maka di tempatnya lah Meriam Polong tersebut tempatnya, dan kami keturunan nya yg dari Tallo Lama masih aktif siarah,” salut Basrief Darma yang juga keturunan Tallo lama.

Baca Juga:  Hanya Dihadiri Pejabat, FTB di Jinato Perlu Dievaluasi Kembali

Basrief Darma pun mengajak pewarta untuk mencoba merasakan energi dari keturunan mereka, dengan cara melantunkan ayat suci Al Qur’an di batu tersebut.

“Yang ingin merasakan sensasinya Boe Baka dan Boe Bayan, coba kita Wudhu niat baca Al-Fatihah tuk beliau, bismillah kalau yakin insya’ Allah rasakan sendiri aura karismatiknya (bukan u/meminta bukan untuk persembahan),” ungkapnya.(tim)


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.