Opini, MitraSulawesi.id– Dalam perspektif Islam, kepemimpinan merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam menganjurkan dalam memilih seorang pemimpin adalah yang dapat membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tenteram. Hal inilah yang membuat Islam tidak menerima pandangan Vilfredo Pareto, ahli politik Italia, yang menyatakan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan politik hanya sekedar persoalan siapakah yang berkuasa.
Dalam khazanah yurisprudensi Islam klasik, Al-Mawardi merupakan salah satu tokoh penting dalam merumuskan teori dan konsep yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan menurut Islam. Pada masterpiece yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur persoalan dunia. Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan merupakan sesuatu yang wajib Fardlu Kifayah secara syara dan tidak hanya secara rasional.
Oleh karena itu menurut al-Mawardi dalam memilih seorang pemimpin harus memenuhi persyaratan, diantaranya yaitu:
Adil yang meliputi segala aspeknya.
Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi.
Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat.
Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah).
Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh.
Dari berbagai persyaratan yang diungkapkan di atas, kita menyadari bahwa memilih pemimpin bukan didasari oleh sikap pilih kasih, nepotisme atau kecenderungan primordial yang sempit. Bukan pula memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, ambisius dalam meraih kursi jabatan atau memiliki vested interest. Tapi hendaknya kepemimpinan diberikan kepada orang yang “ikhlas” dan dipercaya dalam mengemban amanah. Senantiasa memprioritaskan kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi, kelompok atau keluarga.
Kompetensi dan visi kerakyatan bisa dimasukkan dalam kategori persyaratan maksimal (al-hadd al-ala) seorang kepala negara. Seorang kepala negara sejatinya harus membuat kontrak sosial (aqdun ijtimaiyyun) yang jelas dengan rakyat, sehingga tatkala menjadi pemimpin betul-betul mewakili dan membawa aspirasi rakyat untuk kemaslahatan bersama.
Seorang pemimpin tak boleh melihat rakyat seperti sapi perahan dan binatang gembala, melainkan sebagai pihak yang harus dilindungi dan diprioritaskan di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Untuk itu, persyaratan kompetensi dan keberpihakan pada kepentingan rakyat jauh lebih penting daripada kesehatan fisik.
Sedangkan kesehatan fisik menjadi persyaratan minimal (al-hadd al-adna), terutama dalam rangka menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari ketidaksempurnaan fisik (panca indera). Di sini, tentu saja pemimpin yang sempurna secara fisik akan mempunyai nilai lebih bila dibandingkan pemimpin yang tidak sempurna secara fisik. Dengan demikian, persyaratan yang direkomendasikan fiqih adalah seorang pemimpin yang sempurna secara leadership, adil dan mempunyai visi kerakyatan, serta akan afdhal bila sempurna secara fisik.
Negara kita sering memiliki hajatan rutin pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPD, DPRD Tk.I, DPRD Tk.II dan juga Kepala Daerah Tk.I dan Tk.II, semestinya masyarakat harus semakin cerdas dalam menetapkan pilihannya. cermati Visi Misinya dan Programnya adalah langkah arif dalam menentukan pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan untuk umat.
Penulis
Nurul Khairun Nisa
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.