Oleh: Shamsi Ali
New York, mitrasulawesi.id – Dalam seminggu terakhir ini salah satu kesibukan kami di kota New York adalah mencari format yang efektif untuk menangkal meningginya kebencian kepada kedua Komunitas Muslim (Islamophobia) dan Komunitas Yahudi (anti Semitisme). Entah kenapa, dalam beberapa tahun terakhir, terhitung sejak Trump menjadi Presiden Amerika, kedua hal ini sama-sama meninggi.
Kekerasan-kekerasan banyak dialami oleh kedua komunitas ini di era kepemimpinan Donald Trump. Beberapa kali terjadi penyerangan kepada Sinagog Yahudi dengan kematian beberapa jamaah mereka. Sebaliknya juga beberapa kasus pembunuhan dan kekerasan terjadi kepada masyarakat Muslim. Mungkin puncaknya adalah ketika Donald Trump berupaya melarang orang Islam masuk Amerika yang dikenal dengan “Muslims ban policy”.
Kali ini kebencian itu kembali sangat meninggi. Bahkan ada yang menyebutkan “the revival of 9/11 phobia. Namun penyebab meningginya Islamophobia dan anti semitisme kali ini, selain memang karena memanasnya musim politik (pilpres tahun depan), lebih khsusus karena memang dampak peperangan yang sedang berlangsung di Palestina (Gaza).
Kekerasan dan peperangan yang terjadi di bumi Palestina berhasil dijadikan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan sebagai justifikasi untuk membangun kebencian bahkan kekerasan fisik kepada komunitas Muslim. Mungkin contoh terdekat adalah pembunuhan seorang anak berumur 6 tahun keturunan Palestina di Chicago baru-baru ini. Sebaliknya, terjadi intimidasi-intimidasi kepada komunitas Yahudi di berbagai tempat, khususnya di kampus-kampus Amerika.
Ketegangan menjadi sangat meninggi antara pendukung Palestina dan pendukung Israel di berbagai kampus college dan Universitas di Amerika. Di beberapa universitas di kota New York kedua Komunitas pelajar, Muslim dan Yahudi, mendapat berbagai tekananan dan ancaman. Yang menarik adalah ancaman kepada kedua komunitas ini bukan dari masing-masing pihak. Artinya ancaman kepada komunitas Yahudi bukan dari Komunitas Muslim. Dan ancaman kepada masyarakat Muslim bukan dari masyarakat Yahudi. Tapi dari pihak lain. Dicurigai sebagaimana di masa lalu justeru dari kelompok yang disebut White Supremacy.
Hal inilah yang mendorong kami untuk melakukan dialog di tengah situasi yang kami sadari sangat-sangat emosional. Kami bukan tidak sensitif. Apalagi tidak peduli dengan apa yang terjadi di Gaza. Justeru kami berani membangun dialog ini untuk meredam tendensi penyalah gunaan emosi yang destruktif. Melalui Dialog ini Kami mencoba mengarahkan emosi yang meninggi saat ini menjadi kekuatan positif dan konstruktif untuk mencari solusi, tentu pada kapasitas yang ada pada kami.
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.