Manusia Itu Secara Alami Baik

oleh -

Jika kita tarik lebih jauh, kata “nafs wahidah” (satu jiwa) itulah sesungguhnya terefleksi dalam ajaran agama dengan ruh manusia (spiritualitas). Karenanya hakikat manusia itu ada pada spiritualitasnya. Saya biasa menyebutnya dengan: “spiritual being in a physical body”. Hakikat inilah yang menyatukan semua manusia. Kita bisa berbeda secara fisik; warna kulit, bentuk wajah, bahkan isi kepala dan keyakinan (agama). Tapi secara ruh kita semua satu.

Kedua, Islam kemudian mengajarkan “Universal human family” (Keluarga universal manusia). Bahwa manusia itu dengan segala ragamnya sesungguhnya adalah satu keluarga. Semua orang tanpa kecuali tercipta dari satu ayah dan satu ibu (Al-Qur’an 49:13).

Hanya saja Allah mentakdirkan manusia itu tersebar dan terlahir dalam ragam afiliasi. Ragam suku, bangsa, warna kulit, bahasa, budaya bahkan keyakinan dan agama. Keragaman ini adalah keberkahan. Tapi saya biasa menyebutnya sebagai “challenging blessing” (keberkahan yang menantang). Berkah karena itu ciptaan Allah. Tapi menantang karena bisa membawa ke akhir yang tidak menyenangkan (permusuhan dan konflik).

Baca Juga:  ADPI Kembali Gandeng Kemendikbud di PKM OSA ke-4

Karenanya untuk tetap menjaga keragaman itu sebagai keberkahan perlu menejemen. Menejemen keragaman itulah yang disebut dalam Al-Qur’an dengan “ta’aruf”. Ta’aruf itu bukan sekedar mengenal. Tapi merupakan tangga awal menuju kepada empat tingkatan lainnya: tafahum (saling memahami), tarahum (saling mencintai), ta’awun (saling kerjasama) dan takaful (saling membela).

Kedua dasar penting di atas; satu jiwa manusia (one soul) dan satu keluarga manusia (one family) menjadi dasar terpenting bagi terciptanya perdamaian dan keharmonisan dalam kehidupan manusia. Islam sekali lagi hadir dengan konsep yang solid tanpa diragukan. konsep ini bukan inovasi manusia. Tapi ajaran Samawi yang terangkum dalam Kitab SuciNya.

Realita bumi.

Semua yang disampaikan di atas adalah pembicaraan langit (heavenly talk). Pembicaraan yang bersifat konsep dan teori. Konsep dan teori memerlukan realita. Saya menyebutnya “earthly reality” atau realita bumi. Seringkali antara pembicaraan langit dan bumi mengalami pembelahan karena kita lebih nyaman berbicara dengan “tamananniyat” atau “keinginan-keinginan” yang jauh dari realita.

Baca Juga:  Terima Prajurit Tenaga Pendidik dan Kependidikan Gelombang Ke Tiga, Ini Pesan Pangdam XVIII/Kasuari

Realita bumi di hadapan mata kita memperlihatkan bahwa dasar kemanusiaan yang kita yang “baik” (fitrah) seringkali mengalami deviasi (penyelewengan) karena “hak-hak dasar” kemanusiaan yang terampas tanpa belas kasih (mercilessly). Akibatnya kita lihat manusia yang dasarnya baik melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaannya.

Kita boleh marah dengan deviasi manusia. Tapi harusnya kita jangan menutup mata dengan realita di mana mereka juga punya hak-hak dasar yang harus dijaga (protected) dan diberikan (granted). Semua manusia punya hak kebebasan (freedom), keadilan (justice) dan kemuliaan (dignity). Tanpa semua itu manusia akan mencarinya. Dan seringkali dengan cara-cara yang secara kemanusiaan tidak sesuai.

Baca Juga:  Keterangan Saksi Sarbini Dalam Fakta Persidangan Membuat JPU Sempat Naik Pitam

Saya menutup dengan mengatakan bahwa di sinilah di tempat ini (gedung PBB) hak-hak asasi manusia sering dibicarakan. Sayangnya seringkali semua pembicaraan itu berakhir jadi NATO (No Action Talk Only). Atau sering juga human rights yang seharusnya untuk “humans” (semua manusia) menjadi “some humans” (hak sebagian manusia)

Karenanya perlu kejujuran. Dan saya di sini menyampaikan kejujuran itu!

New York, 27 Pebruari 2024

(Summary presentasi saya di gedung PBB dalam acara UN Interfaith Harmony Week, Selasa, 27 Pebruari 2024).


Eksplorasi konten lain dari Mitra Sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan