Shamsi Ali Al-Kajangi
Ada kehebohan di tanah air yang rupanya saya tidak terlalu ikuti. Maklum akhir-akhir ini perhatian saya lebih terfokus kepada peristiwa tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina. Bahkan sejujurnya saya hampir kehilangan fokus pada setiap hal yang saya lakukan ketika pikiran saya tertuju kepada situasi saudara-saudara kita di Gaza saat ini. Hati merasakan kepedihan itu. Seringkali airmata berurai tanpa sadar ketika melihat berbagai berita, khususnya di media sosial.
Baru kemarin hari saya ditanya oleh seseorang: “Ustadz, ikuti berita tentang Ustadz Adi Hidayat?”.
Saya jawab: “saya dalam beberapa hari terakhir tidak mendengar dan juga tidak menonton video-video beliau. Ada apa?”, tanya saya.
“Oh beliau dihujat habis-habisan. diserang dan dituduh, bahkan difitnah oleh banyak orang”, jelasnya.
Mendengar itu saya terkejut. Seingat saya Ustadz Adi Hidayat adalah Ustadz yang hampir tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh siapapun dan pihak manapun. Beliau adalah Kader Muhammadiyah, diterima di kalangan Nahdhiyyin, dan dekat dengan semua pihak termasuk teman-teman yang dikenal sebagai “salafiyun”.
Saya tidak bertanya lagi kepada teman itu. Yang saya lakukan adalah segera menelusuri berita-berita, baik media massa maupun YouTube. Pastinya publik figur seperti beliau akan mudah ditelusuri jika ada isu dengannya. Dan benar, memang telah bertebaran berita dan video tentang Ust. Adi Hidayat dianggap salah, bahkan lebih jauh dianggap menghina Al-Quran, dan karenanya ada yang sempat melemparkan kata “kufur” kepada beliau.
Melihat itu saya tidak saja terkejut. Bahkan sejujurnya sedih dan agak gerah dengan prilaku sebagian yang gampang menyalahkan, apalagi menuduh dengan tuduhan keji “menghina Al-Quran”. Bagi saya di nama “Adì Hidayat” itu terpatri keilmuan Al-Qur’an. Dan karenanya menuduh beliau menghina Al-Quran itu adalah paradoxical statement atau pernyataan yang paradoks.
Saya kemudian melihat lebih jauh, dimana sesungguhnya masalahnya. Ternyata apa yang dianggap kesalahan bahkan penghinaan yang mengantar kepada “takfir” itu ada pada penterjemahan nama surah Al-Qur’an; As-Syu’araa (para penyair). Intinya Ustadz Adi Hidayat pernah menyebut kata “musik” sebagai terjemahan dari kata “Syu’araa”, nama surah itu.
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.