Sebenarnya mayoritas tokoh-tokoh organisasi nasional lainnya, khususnya yang ada di MAS (Muslim American Sociery) adalah juga mantan bahkan masih dianggap sebagai tokoh ISNA. Imam Siraj Wahaj misalnya seorang Imam kharismatik dari Brooklyn New York sangat dikenal aktif di kedua organisasi itu. Selain beliau juga dikenal sebagai salah seorang pendiri MANA (Muslim Alliance of North America), organisasi yang menjadi perkumpulan Muslim Native American (non Imigran).
Barangkali yang unik juga adalah bahwa masing-masing organisasi ini punya dominasi ras dan etnis keanggotaan dan partisipasi. ICNA (Islamic Circle of North America) memang dikenal didirikan oleh saudara-saudara dari Asia Selatan, khususnya India dan Paksitan. Sementara MAS (Muslim American Society) dominannya didirikan dan keanggotaannya didominasi oleh saudara-saudara dari Timur Tengah. ISNA lebih identik dengan lintas etni dan tetap menjaga keragaman. Walaupun diakui sering terjadi tarik menarik dan kompetisi sehat antara Muslim Timur Tengah dan Muslim Asia Selatan dalam kepemimpinan ISNA.
Secara ideologi pergerakan ISNA memang tidak memiliki jalur yang khusus. Berbeda misalnya dengan MAS dan ICNA. Muslim American Society (MAS) memiliki ideologi pergerakan ikhwani (Ikhwanul Muslimun) yang didirikan oleh Sheikh Hasan Al-Banna di Mesir. Sementara Islamic Circle of North America) mengikuti ideologi Jamaah Islamiyah yang didirikan oleh Sheikh Abul A’la Maududi di Pakistan. Kedekatan ideologi pergerakan Ikhwani dan Jamaah Islamiyah menjadikan pertemuan tahunan (Convention) MAS dan ICNA menyatu.
Namun yang disyukuri, walau masing-masing punya ideologi organisasi dan pergerakan serta spesialisasi program semua organisasi nasional ini sangat menyadari “kesamaan tujuan” dan ikatan akidah yang satu: akidah Islamiyah. Perbedaan-perbedaan ideologi (filosofi) pergerakan (bukan keyakinan keagamaan) maupun dominasi etnis dan program tidak tidak menjadikan mereka renggang dan berpecah. Mereka sangat sadar bahwa semua organisasi yang ada bertujuan meninggikan Kalimah Allah (li i’laa Kalimatillah) di bumi Amerika.
Yang masih terus menjadikan saya pribadi galau dan sedikit sedih adalah minimnya peranan bahkan hampir tidak adanya partisipasi komunitas Muslim dari bumi Nusantara (Indonesia, Malaysia, Brunei, dll). Lebih khusus lagi komunitas Muslim Indonesia yang seringkali membanggakan diri sebagai representasi “the largest Muslim country in the world”. Namun hanya segelintir yang hadir sebagai peserta. Apalagi mewakili wajah Muslim Nusantara sebagai pemain, termasuk sebagai narasumber atau pembicara (speaker).
Benarlah memang benar kata sebagian bahwa orang-orang Indonesia itu memang jago. Tapi jago di kandang sendiri. Bisa mengadakan acara yang bagus dan hebat. Tapi acara itu dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka sendiri. Di acara-acara warga Indonesia, bahkan yang dilabeli internasional sekalipun, hampir tidak kelihatan pertisipadi non Indonesia. Karena memang itu adalah refleksi balik atau cerminan “kepasifan” warga Indonesia dalam kegiatan-kegiatan antar komunitas. Lebih khusus lagi di kegiatan-kegiatan global, termasuk di Amerika.
Why? Jangan tanya pada rumput yang menati. Bukan juga pada gelombang yang bergerak gemulai….entah kapan rumput itu menjadi pohon tinggi dan berubah dan buah ya dirasakan oleh masyarakat lain. Entah pula kalan gelombang itu berubah menjadi ombak dahsyat yang meninggi. Bergerak tinggi ke atas untuk memperlihatkan bahwa Umat Islam Indonesia memang eksis dan juga bisa…
Akankah? Yes we can. Asal jangan dalam mimpi terus!
Udara Dallas-NYC, 1 September 2024
Poetra Kajang di Kota New York.
Eksplorasi konten lain dari Mitra Sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.