Shamsi Ali Al-Kajangi*
Rencana pilpres di Amerika hari-hari ini telah ada pada tataran puncaknya. Suasana kampanye untuk mendukung dan memilih calon Presiden dan calon Wakil Presiden negara adidaya ini semakin panas. Serang menyerang antara kandidat dan para pendukungnya, sebagaimana juga lazimnya pilpres di Indonesia, semakin tajam. Masing-masing memposisikan diri pada posisi yang terbaik dan yang lainnya kurang bahkan tidak sesuai dengan harapan Amerika.
Walaupun keduanya memilki pengalaman yang sama sebagai mantan dan (incumbent) Presiden, kedua kandidat memiliki latar belakang yang sangat kontras. Kita mengenal Presiden Biden adalah politisi ulung dengan pengalaman panjang di Senat. Bahkan ketika terpilih pertama kali dia terpilih sebagai Senator termuda pada masanya. Pernah menjadi Wakil Presiden Obama dua periode dan kini sebagai Presiden satu periode.
Sementara itu Donald Trump walau memiliki latar belakang Politik sebagai Presiden satu periode, dia sama sekali tidak memilki latar politik yang solid. Modal terbesar yang dimiliki oleh Donald Trump adalah popularitas sebagai pebisnis yang artis. Artinya secara finansial bisnis Donald Trump tidak ada apa-apanya dibanding dengan pebisnis besar lainnya, seperti Ellon Musk, Bill Gate, Warren Buffet, Jeff Bezos, bahkan Michael Bloomberg. Modal terbesar Donald Trump adalah akses media sebagai artis dengan beberapa show. Apprentice dan Miss Universe misalnya adalah dua acara TV Donald Trump yang paling populer.
Tapi sebenarnya yang paling menguatkan Donald Trump dalam pencalonan ini adalah sentimen kaum putih (white supremacy) yang semakin benci kepada warga non Putih di Amerika Serikat. Dengan kata lain, modal terutama Donald Trump untuk memenangkan pertarungan ini adalah rasisme warga putih. Hal ini dimungkinkan karena Donald Trump memang berani menyampaikan secara terbuka penolakannya kepada imigran dari Dunia non putih.
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.