Cerpen: Koruptor dan Neraka

oleh -
Penulis, Sabriansyah

Setelah pemilihan, Ambarita, Ageni, dan petinggi-petinggi partai berpesta-ria, merayakan kemenangan. Tak bosan-bosan mereka mabuk sampai muntah berkali-kali, semalam suntuk.

Nama Ambarita membahana seantero kota. Diagung-agungkan oleh warga Desa, sebagai kebanggaan,

Oleh bantuan Ageni, di DPRD, Ambarita di tempatkan pada posisi paling strategis. Bagian Anggaran, yang bercerita seputar proyek-proyek besar bermilyar-milyar. Hebatnya, dari posisi itu, bersama Ageni, hanya dalam tempo dua tahun, Ambarita sudah memiliki rumah pribadi di kota, plus satu mobil pribadi yang membuat mata warga desanya berbinar-binar kagum dibuatnya.

Setiap mengunjungi Desa, dada Ambarita terbusung-busung, dengan dasi menjuntai-juntai. Ia seorang pejabat sekarang. Pejabat yang korup dan berperut gendut. Uniknya, warga Desa tetap melihatnya sebagai sosok yang membanggakan.

Baca Juga:  PUISI: BANGUNLAH WAHAI HARAPAN BANGSA

Tapi, sebagaimana kata pepatah; sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Selihai-lihainya Ambarita mengkorup anggaran proyek dan uang rakyat, pada akhirnya semuanya terkuak. Setiap hari, penyidik TIPIKOR mendatanginya. Kasus korupsi proyek jalan trans yang dibangun dari hasil pembayaran pajak masyarakat, tercium oleh KPK. Ambarita gugup bukan main. Berhari-hari ia hanya bisa termenung. Kadang-kadang ia demam, mengingat-ingat apa yang akan terjadi padanya, apabila semua bukti-bukti yang dibutuhkan penyidik terkumpul. Ia akan menuai malu. Nama besarnya akan menguap. Jabatannya hilang. Dan harta bendanya, tak lagi berguna. Semua usahanya sia-sia. Ia pun harus pasrah di dalam penjara, bertahun-tahun.

Baca Juga:  Puisi: Nenek Pembawa Keranjang Kue

Akibat segala desakan emosi dan tekanan batin seorang koruptor yang ketahuan itu, Ambarita jatuh sakit. Tak tanggung-tanggung, langsung stroke. Badannya seakan mati, tak bisa digerakkan sama sekali, mulutnya terus menganga, tak bisa mengucapkan apa-apa. Napasnya satu-satu, was-was menunggu ajal tiba.

Setandan kelapa kering jatuh, cerita saya tiba-tiba berhenti seketika, kami langsung berlari, memungutinya. Ceritaku tentang Ambarita, berganti keceriaan saat kami menerima berbungkus-bungkus makanan ringan dari Tante Muti. Tapi kami kaget apabila Bapakku mengumumkan melalui pengeras mesjid, kalau Ambarita baru saja mengembuskan napas terakhirnya.

Entah kenapa hatiku kecut mendengarnya, aku merasa iba dengan nasib Ambarita selanjutnya.

Baca Juga:  Puisi: Pasrah

“Matilah, pejabat yang korup itu. Di neraka nanti, ia akan menerima siksa yang sebenarnya. Sampai berdaki-daki. Kekal, sebagai manusia paling kafir,” gumamku.

Aku menggeleng, kemudian berlari. Besoknya, kepada Salim, Kardun, dan Maman. Aku bercerita tentang kisah para koruptor dan neraka, dengan cara yang lebih menakjubkan.

 

Penulis

Sabriansyah


Eksplorasi konten lain dari Mitra Sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses