Sosok, MitraSulawesi.id—“Berkarya tak mengenal usia”. Itulah yang dilakukan Darsono. Ditengah kesibukannya sebagai petani, Darsono yang beruisa 60 tahun masih terus berkarya tanpa henti, dengan terus membuat puisi berbahasa Jawa setiap hari. Ketekunannya untuk berkarya ia nilai sebagai upaya menjaga agar sastra Jawa tidak terlupakan ditelan zaman.
Darsono yang merupakan warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, biasa membuat dua hingga tiga puisi per hari. Katanya, nspirasi bisa datang kapan saja, hingga akhirnya membuat dia terbiasa memanfaatkan media apa pun untuk menulis.
”Dulu, semasa sekolah, saya biasa menulis puisi di bangku, buku pelajaran, dan pohon. Setelah tua dan bekerja, saya bisa menulis di kertas apa saja, mulai dari bungkus teh, surat undangan pertemuan warga, hingga lembaran kertas surat tilang,” ujarnya sembari terbahak, saat ditemui oleh awak media, Ahad (15/1/2023).
Dia tak sekadar membuat puisi hanya untuk menjadi bahan koleksi. Darsono juga berusaha memopulerkan sastra Jawa dengan menunjukkan karyanya, mendiskusikan dengan rekan, dan membacakannya dalam berbagai acara, mulai dari acara kesenian hingga pengajian.
Sejak lama, dia berupaya mengajak warga lain ikut membuat karya sastra. ”Saya sering mengajak, menantang warga lainnya. Buatlah karya apa saja, dan mari kita diskusikan bersama,” katanya. Hal tersebut ia lakukan karena dia ingin memiliki kelompok dengan minat yang sama, sekaligus menjadi ruang untuk berproses bersama.
Berawal dari kegelisahannya untuk menciptakan ruang berkarya bersama tersebut, dia bersama warga lain, Ida Fitri Lusiana. Mereka sepakat membentuk komunitas sastra yang diberi nama Lintang Panjer. Ida sendiri merupakan pengurus Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Ibnu Hajar di Desa tersebut.
Awal berdirinya komunitas Lintang Panjer, ia menceritakan jika pencarian anggota hanya dilakukan sebatas ingatan masing-masing tentang minat dan hobi warga lain di Desa Sirahan. Karena banyak yang tidak memiliki atau jarang menggunakan telepon seluler, upaya mencari dan mengajak bergabung dilakukan secara ”manual” di tempat-tempat warga tersebut biasa berada.
“Saat akan mengajak Pak Agus Yuwono dan tidak menemukan dia di sawah dan di rumahnya, maka saya pun mencari dan akhirnya bisa menemui dia di tepi sungai yang menjadi lokasi memancing favoritnya,” tutur Darsono.
Komunitas Lintang Panjer resmi terbentuk pada 2019 lalu, awalnya komunitas itu hanya memiliki sembilan anggota. Sempat sepi, khawatir bertemu dan berkumpul karena saat itu terjadi pandemi, mereka kemudian memutuskan mengumpulkan karya sastra untuk membuat buku. Tahun 2021, buku kumpulan karya komunitas Lintang Panjer berjudul Sega Pecel akhirnya terbit.
Sega Pecel merupakan buku yang berisi kumpulan puisi dan cerita pendek yang di rangkum dari karya anggota komunitas Lintang Panjer dari Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sebagai pempimpin di komunitas Lintang Panjer, Darsono memastikan anggotanya tak boleh puas hanya di satu buku, dan justru bertekad menunjukkan eksistensi mereka dengan terus mencetak buku setiap enam bulan sekali.
Di samping memperbanyak buku, komunitas Lintang Panjer juga berupaya menambah jumlah anggota dengan fokus lebih banyak menggandeng anak-anak muda di dalamnya.
”Pengajaran, pengenalan tentang sastra Jawa wajib dilakukan di kalangan anak-anak muda karena di masa sekarang, bahasa Jawa yang digunakan dalam pergaulan mereka kacau balau,” ujarnya.
Sejak kecil
Darsono sejak kecil memang gemar menulis. Kegemarannya menulis puisi tumbuh seiring dengan munculnya kemampuan dan kesenangannya membaca banyak buku semasa SD.
Kelas 2 SMP, Darsono putus sekolah. Dia tak melanjutkan sekolah karena memilih menjadi sopir angkutan desa selama lima tahun. Meski demikian, kesenangannya menulis puisi tak pernah putus. Ia bercerita di masa muda beliau, kebanyakan karyanya adalah puisi-puisi romantis untuk perempuan ia sukai dan kemudian kini perempuan itu menjadi kekasihnya.
Setelah itu, Darsono menikah. Tahun 1994, dia beralih menjadi sopir kendaraan pengangkut buah-buahan. Karena kegemarannya, nota-nota pembelian buah semangka pun turut jadi media menulis puisi Darsono dikala itu.
Tahun 1998, dia memutuskan berhenti sebagai sopir dan menekuni aktivitas bertani di sekitar rumah. Meski ia berhenti menjadi sopir, namun aktifitasnya menulis puisi tak berakhir. Dijelaskan, dia rutin membuat dua hingga tiga puisi setiap hari. Sebagian besar puisi dibuatnya dalam bahasa Jawa dan beberapa di antaranya ditulis dalam bahasa Indonesia.
Inspirasi bisa datang dari mana saja, dan hasrat menulis tak terbendung ketika Darsono mendapatkan ide tersebut. Hanya saja, kegemarannya menulis puisi kerap membuat istrinya salah paham dan akhirnya mereka bertengkar.
”Istri saya pernah marah besar ketika membaca puisi saya berjudul ’Ketika Harus Memilih’. Dia langsung curiga saya memiliki pilihan wanita lain, padahal saat itu saya sedang menulis puisi tentang pemilihan kepala desa,” ujarnya sambil tergelak.
Namanya juga penyair, tentu kalimat-kalimat yang ditulis Darsono memang puitis dan cenderung romantis. Kalimat itulah yang kemudian diartikan mentah-mentah yang sering membuat istrinya emosi.
Saat itu, Darsono sering menulis puisi di ponsel di sela-sela aktivitasnya bertani. Namun, karena emosi istri itulah, belakangan dia memilih menahan diri dan baru menulis puisi setelah pulang ke rumah.
”Saya tidak lagi menggunakan ponsel. Enam ponsel saya rusak karena dibanting istri yang marah membaca puisi yang saya ketik di dalamnya,” ungkapnya.
Mengikuti isu
Darsono memang hanya lulusan SD. Namun, kegemarannya menulis puisi membuat ia sangat peka melihat, mendengar dan mengikuti isu-isu yang ada di sekitarnya, bahkan isu tingkat nasional.
”Saya juga menulis puisi tentang (Ferdy) Sambo dan Teddy Minahasa,” ujarnya. puisi tersebut diberinya judul ”Wayahe Gara-gara”.
Tidak hanya puisi bergenre satire yang ia tulis, dia juga menulis puisi yang terinspirasi dari peristiwa-peristiwa bencana, termasuk banjir lahar dingin dari Gunung Merapi, yang pernah meluluhlantakkan Desa Sirahan pada 2011.
Selain karena ingin merekam, mencatatnya sebagai sejarah yang pernah terjadi di desa, peristiwa itu ditulisnya karena terus membayang di ingatan. “Bencana banjir lahar dingin adalah bencana yang sulit dilupakan,” ujarnya.
Selain peristiwa, sebagian inspirasi juga bisa datang dari kata atau nasihat. Puisi yang berjudul ”Wasiat”, misalnya, adalah puisi tentang nasihat ayah kepada anak-anaknya, meminta mereka tidak terbelit konflik berebut warisan. Nasihat itu dianggapnya penting ditulis sebagai puisi karena ia menganggap isinya penting diketahui orang lain.
Saat ini dan seterusnya, Darsono memastikan akan terus berkarya. Selain ingin terus ikut merekam sejarah dan kenangan, ia berharap semua inspirasi yang ia tuangkan dalam puisi dapat menarik minat orang-orang di sekitarnya untuk mau terlibat menjaga sastra Jawa tetap lestari.
Sebagai penulis pemula, mendengar kisah Darsono memberi motuvasi tersendiri buat saya untuk terus berkarya. Dari kisah Darsono saya belajar “Meski diri kita mulai menua, bukan alasan untuk berhenti berkarya. Karena berkarya tidak akan membuat kita menjadi punah”.
Darsono
Lahir : Magelang, 13 Juli 1962
Pendidikan terakhir : SD Negeri Sirahan
Istri : Wiyati (58)
Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.