Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi*
Ketika umat telah terkonsolidasi secara internal secara baik, maka untuk selanjutnya Islam harus melakukan consolidarsi eksternal (dengan non Muslim). Apalagi dalam konteks masyarakat Madinah yang sangat plural, tidak saja dengan pluralitas agama dan keyakinan. Tapi kota ini sangat plural secara etnis dan suku. Di Madinah ketika itu, selain masyarakat Muslim, juga ada Yahudi, Kristen bahkan kelompok musyrik Arab. Ada dua suku Arab yang terkenal ketika itu; Suku ‘Aus dan suku Khazraj.
Madinah kemudian menjadi institusi kebangsaan bersama (negara). Dan karena Umat Islam adalah mayoritas maka secara otomatis juga secara konsensus Rasulullah diakui sebagai pemimpin bangsa (raja, sultan, presiden, atau apapun namanya) Madinah. Bagi umat Islam Muhammad SAW bukan hanya seorang nabi dan Rasul. Tapi juga pemimpin negara (Presiden atau raja) seperti yang disebutkan di atas.
Di sini kembali fathonah beliau dibuktikan. Bahwa dalam mengelolah masyarakat yang sangat ragam tentu sangat tidak mudah. Bahkan sesungguhnya sangat sensitif dan mudah membawa kepada konflik dan friksi. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang elegan, inklusif dan merangkul semua pihak.
Hal yang terpenting dan mendasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa adalah adanya sebuah acuan kehidupan publik bersama. Acuan kehidupan publik inilah yang akan menjadi pegangan bagi semua penduduk atau warga negara dengan semua latar belakang yang ada. Acuan bersama itulah yang disebut Konstitusi negara. Maka Rasulullah kemudian menginisiasi pembentukan Konstitusi negara Madinah. Konstitusi inilah yang dikenal sebagai Konstitusi sipil (civic constitution) pertama dalam sejarah manusia.