Debat Cawapres dan Otentisitas Pencalonan

oleh -

Shamsi Ali

Pagi kemarin waktu New York saya tidak berkesempatan mengikuti (menonton) debat cawapres secara langsung (live). Kebetulan saya hadir di acara interfaith breakfast Walikota New York. Sebuah acara yang telah menjadi tradisi tahunan di kota New York sebagai rasa syukur atas segala kenikmatan tahun ini sekaligus harapan dan doa untuk yang lebih baik di tahun depan. Acara ini diikuti oleh tokoh-tokoh agama senior di Kota New York, anggota DPRD, Kepolisian, dan pejabat lainnya.

Kebetulan pula hari ini adalah Jumat keempat di saat saya dijadwalkan untuk menyampaikan khutbah di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa New York. Dalam khutbah kali ini saya menyampaikan lima permasalahan mendasar (foundational problems) yang dihadapi oleh umat manusia. InsyaAllah tulisan ringkasan khutbah akan disusulkan dalam waktu dekat.

Baca Juga:  Pangdam XVIII/Kasuari Menghadiri Pekan Sagu Nusantara

Kembali ke isu yang ingin saya sampaikan kali ini, yaitu debat cawapres pertama yang terjadi tadi malam waktu Indonesia atau pagi tadi waktu New York. Sejujurnya saya belum mendengarkannya secara menyeluruh. Tapi telah menyimak beberapa bagian, sekaligus melihat perkembangan debat antar pendukung yang terjadi di beberapa media sosial.

Secara umum seperti debat capres debat cawapres berjalan dengan baik. Tapi saya masih mempertanyakan alasan tradisi membaca doa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang kini diganti dengan hening cipta. Saya katakan hening cipta karena walaupun diakui doa tapi acara itu dimulai dengan kata-kata “doa dimulai” persis seperti dengan kata-kata “hening cipta dimulai”. Lalu diakhiri juga dengan hal sama: “doa selesai” perisi ketika pemimpin upacara mengatakan “hening cipta selesai”.

Baca Juga:  KLHK Gelar E-Learning untuk Tingkatkan Kompetensi dan Ekonomi Petani di tengah Pandemi

Saya kembali mempertanyakan ini, karena terlepas dari tendensi tafsiran politis yang ada terkait dengan doa, ada dua hal mendasar yang perlu diingat.

Satu, doa khususnya dalam perspektif Islam adalah “mukhkhul ibadah” (intisari ibadah). Dan karenanya dalam konteks negara Pancasila yang berketuhanan, doa sekaligus merupakan simbolisasi ketaatan kepada agama dan falsafah negara, Pancasila.

Baca Juga:  Dampak COVID-19 Terhadap Perekonomian Perusahaan

Dua, selama ini sebagai mayoritas biasanya doa dipimpin oleh seorang ustadz/kyai atau ulama. Dengan cara hening cipta ini jangan-jangan sekaligus pesan bahwa status itu jangan lagi menjadi konsideran. Sehingga melalui hening cipta ingin disampaikan pesan status umat Islam sebagai mayoritas jangan lagi jadi pertimbangan. Tentu ini “mind reading” (bacaan kepala saya) saja. Semoga saya salah.


Eksplorasi konten lain dari mitra sulawesi

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.